"Kamu kalau ngigo, lebih heboh dari itu, tahu."
Arin menyembunyikan wajahnya yang terasa begitu panas.
"Dan semalam kamu ... sadar?" Nuris geleng-geleng kepala. "Mengigau itu benar-benar cerminan isi hati, ya."
"Ayah, cukup!"
"Jangan keluar dulu," ucap Nuris tegas. "Terakhir kamu ngeloyor keluar pas merasa sembuh padahal malamnya demam, kamu ambruk lama."
Arin mengangguk patuh.
"Kalau mau, nanti Ray ke sini lagi."
"Enggak usaaaah!"
"Kamu juga enggak usah salting!" Nuris menyentil kening anaknya. Hubungan dua orang itu sudah jauh membaik dua tahun belakangan.
"Ya, aku tidur habis ini. Tapi ...."
"Tapi apa?" potong Nuris.
"Tapi, kalau aku beneran udah sehat besok, aku mau ke rumahnya!" Arin mengepalkan tangan, penuh tekad.
"Dia mau kok jenguk kamu lagi," sahut Nuris santai.
"Ka-kalau gitu!" Kali ini, Arin sungguhan salah tingkah. "Kenapa enggak satu grupnya yang ke sini?"
Nuris tampak berpikir sejenak. "Boleh juga," ujarnya kemudian. "Kemarin, Ayah cuma undang dia karena kamu mengigau—"
"Udaaaah!"
Arin kembali ke kamar. Jantungnya berdegup kencang. Ah, sepertinya, dia sudah di ambang gila. Semalam ... ia memanggil-manggil Ray seolah begitu takut kehilangan. Memang, Ray siapanya?
"Uuugh, sudahlah. Semalam sudah ngobrol, baik-baik aja tuh. Besok, atau nanti, kita lihat lagi!"
Arin sendiri tak tahu, dari mana ambisi untuk berkawan dan mengobrol normal dengan Ray datang. Mungkin, karena Ray muncul tiba-tiba di rumahnya saat itu, Ray pula yang menyapanya lebih dulu di alun-alun. Ray sudah sebegitu berusaha, kini giliran Arin.
Namun, malam itu, Nuris sibuk. Vanes sudah hendak ke alun-alun untuk mengundang grup Mededader, tetapi Arin tahan.
"Ini bukan malam Minggu, mungkin enggak ada Agnes dan perempuan lain," ujarnya. "Enggak usah, deh. Enggak enak kalau laki-laki semua."
Vanes tersenyum, Arin tak paham maksud senyumannya.
"Kalau besok kamu udah sembuh beneran, bakal aku bolehin main." Vanes menyentuh kening Arin. "Ini panas gara-gara demam atau kasmaran?"
Arin menepis tangan Vanes sambil menggerutu. "Mbak, mau jadi ibu baruku, enggak?"
"Yeu, aku dah punya pacar!"
"Oh, siapa? Kok aku enggak tahu?"
"LDR ini. Long distance relationship. Kalau aku nikah, kamu bakal jadi tamu kehormatan!"
"Mbak umurnya berapa, sih?"
Vanes menatap Arin datar. "Wanita itu, tabu ditanya umur."
"Aku juga cewek!"
Vanes menghela napas. "Rin, kamu tahu sudah berapa lama aku kerja di sini?"
"Emmm, dari aku SD?"
"Dari kamu 9 tahun," jawab Vanes. "Itu sebelas tahun lalu. Waktu itu, umurku 15. Jadi?"
"Ehm ...." Arin sudah hampir menjawab, tetapi Vanes menempelkan telunjuk ke bibirnya.
"Sudah. Jangan diungkit." Vanes berdiri dan menepuk roknya, lalu membenarkan kucir rambutnya. "Sekarang, tidur! Kelamaan ngobrol."

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024