Kembali

10 2 0
                                        

"Lukamu infeksi. Belum parah. Mungkin kamu akan demam beberapa lama, tapi itu berarti imun-imun tubuhmu bekerja."

Arin tak bereaksi. Ia hanya duduk di kasur dengan air mata berleleran, sesekali mengernyit menahan sakit ketika Vanes mengganti perban di tangannya.

"Silakan kamu merasa sedih, marah, hina, apa pun, aku enggak akan menghalangi. Tapi, kalau sudah bisa bicara, panggil aku. Aku selalu siap mendengarkan."

Arin mengangguk kecil. Ia sempat menahan Vanes sebelum wanita itu berbalik untuk membersihkan bekas-bekas pengobatan. "Apa Ray pulang dengan selamat?"

Arin masih kepikiran. Ray mengaku tahu kalau ia dibuntuti, pun sosok itu, Jim, berkata penuh dendam, biar kubuat tambah menyesal. Ia benar-benar takut sesuatu yang buruk sampai menimpa Ray.

"Rin?" Vanes malah menatap Arin cemas. "Kamu sudah menanyakan hal yang sama tiga kali."

Arin menutup mulutnya. "Yakah?"

"Kamu ... baik-baik saja?" Vanes mengelus lembut kepala Arin yang kali ini tak tertutup kerudung. "Kamu ingat apa yang terjadi tadi pagi? Sarapan apa?"

"Cornflakes, bubur mutiara ...." Arin tahu, wajar bagi Vanes untuk cemas. Ia sendiri juga. Pasalnya, rasa takutnya sekarang begitu familier. Déjà vu, istilahnya. Ia pernah mengalami kejadian serupa, tetapi ia lupa detailnya, hanya sisa-sisa perasaan di alam bawah sadar yang tersisa.

"Ray pulang diantar polisi dan Danang, sampai rumah dengan selamat," ujar Vanes. "Tapi mungkin hari ini dia enggak bisa ke sini. Kemarin dia sangat lelah."

"Aku tahu." Arin ingat, sebelumnya, Iskandar muncul dengan laporan ada petasan di atap rumah. Pasti Ray habis kerja bakti, tetapi Ray tetap muncul dan membawanya pulang. "Mbak, apa Ray bakal mau ketemu denganku lagi?"

"Kenapa nanya itu?" Vanes terperanjat.

"Enggak papa. Aku cuma malu. Aku ... kebanyakan meracau." Arin menatap kedua tangannya yang tertutup perban. Ia tak bisa menggerakkan jarinya normal, hanya bisa seperti capit. "Entah kenapa, aku merasa nyaman. Terlalu nyaman. Sepertinya kebablasan."

"Rin, he's there for you."

"I know," jawab Arin frustrasi. "Masalahnya adalah, aku udah bilang kalau dia itu sahabatku. Bukan yang lain. Bukan lebih. Sekarang, aku merasa bersalah."

"You do like him, don't you?"

Arin menunduk. Rambutnya yang tergerai kembali jatuh menutupi wajahnya. "Ye, I do," bisiknya. "Tapi, aku takut dia kecewa padaku."

"Simpel. Kalau dia kecewa dengan hal remeh, berarti dia enggak pantas buatmu."

"Mbak ...." Arin langsung merengek.

"Sori, sori." Vanes mendekat sambil merentangkan tangan, lalu duduk di kasur dan memeluk Arin. "All the best for you, my little sister."

"Makasih, Mbak." Arin membalas pelukan Vanes. Ia ingat lagi semalam, ketika ia histeris di pelukan Ray.

Benar. Lelaki itu memeluknya. Dan Arin merindukannya.

****

"Arin!!!"

Arin hanya bisa pasrah ketika Agnes muncul dan memeluknya sambil menangis.

"Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf!" Agnes merepet tanpa henti. "Kamu demam tinggi. Aduh. Tanganmu luka. Gimana ini? Gimana aku bisa memaafkan diriku?!"

"Bukan salahmu, Nes."

"Ini salahku ... salah kami! Kenapa enggak ada yang nyadar pas ada orang aneh deketin kamu?!" Yang Agnes maksud orang aneh adalah anak kecil itu.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang