Teman Lama

4 2 0
                                    

Hari semakin siang.

Ray masih duduk di bangku taman, merenungi masa lalu, berusaha mengingat-ingat meski gagal. Ia kembali frustrasi. Bisa didengarnya pengumuman dari suara seorang perempuan bahwa jenazah akan ditutupi sekarang, sekaligus menanyakan keikhlasan sanak saudara untuk melepas. Berarti, sebentar lagi, orang-orang akan keluar. Ray berdiri dan menunggu di dekat pintu, bersama banyak orang lainnya.

Saat itulah, Ray melihat sosok yang duduk bersimpuh dekat tandu, tempat sesosok jasad terbaring kaku. Sosok perempuan, yang Ray yakini adalah anak dari Mister. Dina, Arin, atau siapa pun itu. Apa jangan-jangan Dina punya kembaran, dan sesekali menggantikannya di sekolah? Ray buru-buru mengusir pikiran absurd itu.

Keranda ditutup, orang-orang menepi memberi jalan, begitu pula Ray. Ia tunggui sampai iring-iringan cukup sepi sebelum celingukan mencari orang tuanya. Seingat Ray, mereka belum lewat. Ia berjalan pelan ke arah ambulans. Barulah ia mendapati tiga orang dewasa di sana: Iskandar, Siti, juga Mister. Ray menghampiri mereka.

"Ray, habis Zuhur ini, almarhumah akan disalatkan di Masjid Raya," ucap Iskandar. "Setelah itu bakal dimakamkan. Kamu ikut salat, ya? Enggak perlu ke makam kalau mau langsung pulang."

Ray mengangguk. Ia menghadap Mister, lalu membungkuk. "Mister, saya turut berduka. Maaf karena jarang mengunjungi Anda lagi."

Tangan Mister yang besar menepuk bahu Ray. Ia tersenyum, meski getir. "Terima kasih sudah datang, Ray. Saya yang harusnya minta maaf. Karena ... saya ... hampir tidak pernah di rumah ...."

Empat orang itu terdiam.

Ray masih kelabakan. Mister kini mencengkeram bahunya dengan tangan gemetar. Ray menatap ayahnya, minta bantuan.

"Pak." Iskandar segera menepuk pelan bahu Mister. "Ambulansnya sudah mau jalan."

Mister melepas tangannya dari bahu Ray sambil menghela napas panjang. "Ray."

"Y-ya?" Ray langsung menegak.

"Tadi sudah ada beberapa kali jamaah salat jenazah. Anak saya duluan, karena dia saya larang ikut ke pemakaman, takut pingsan. Dia jauh lebih dekat dengan ibunya daripada dengan saya."

Ray menelengkan kepalanya. Informasi macam apa ini?

"Tolong, hibur dia ...."

Ray menelan ludah, tak mengiakan atau menolak. Mister berlalu, Iskandar mengangguk padanya, Siti berpesan untuk merapikan halaman rumah jika Ray sudah pulang nanti.

"Jangan lupa Zuhur ke Masjid Raya, ya, Ray," ucap Iskandar sebelum berlalu.

Ray mengangguk pelan. Ia menatap Mister dan orang tuanya menaiki mobil ambulans, lalu berbalik. Halaman sudah cukup lengang sekarang. Di antara orang-orang yang berlalu ke gerbang, ada dua yang tetap di depan pintu rumah. Keduanya perempuan berpakaian serbahitam, satu wanita, satu lagi remaja seumurannya, yang ia yakini itu Dina. Ray ingin menghampiri, tetapi didera keraguan luar biasa. Bisik-bisik itu memengaruhinya. Kamu enggak berhak. Kamu siapanya?

Ray masih terpaku di dekat gerbang sampai melihat sosok wanita itu bicara pada si perempuan remaja, lalu berlalu ke dalam rumah. Si perempuan bergeming, sama sekali tak bereaksi pada apa pun omongan tadi. Hanya tangan yang mulanya terkepal di kanan-kiri badannya, kini bergerak menutupi muka. Sosok itu menunduk, kedua bahunya gemetar.

Meski Ray tidak pernah melihat Dina menangis, tetapi sikap perempuan itu yang membuat Ray benar-benar yakin bahwa ia mengenalinya. Kakinya ia gerakkan ke arah pintu depan rumah, sangat pelan. Jadi, begini rasanya bertemu orang yang ia antisipasi sejak lama. Tak sabar, tetapi juga gentar. Entah berapa lama kemudian hingga Ray sampai ke hadapan sosok perempuan itu. Ia sedikit menunduk, mengira-ngira tampaknya ia sudah menjadi lebih tinggi dibanding ketika terakhir bertemu. Ragu, ia berdeham.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang