Intro

23 5 0
                                    

Keriuhan di kelas delapan itu perlahan menyepi ketika seorang lelaki paruh baya berpostur tegap memasuki kelas. Langkahnya pasti dan dehaman rendah sebelum mengucap salam sukses mengalihkan atensi seluruh siswa.

"Lo, eh, kapan bel masuk?" Satu orang berseru.

"Salah Gusman tadi, pake niruin bunyi bebek Peking!"

Kegaduhan mulai lagi. Ada-ada saja. Sosok yang berdiri di depan kelas bergerak sedikit, lalu menghantam papan tulis dengan penghapus.

Satu kelas langsung diam.

"Siapa yang mau main musik?"

Sedetik, dua detik.

"Asyik, praktek!"

Seruan itu kembali disambut keriuhan. Dan kali ini, Pak Hanu, sang guru yang baru memasuki kelas tadi, membiarkan saja.

"Pak, Pak! Jadinya duet, ya?"

"Pak, milih atau dipilihin?"

"Diundi aja, biar nasib!"

Pak Hanu berdeham. Sadar bahwa sang guru akan menjawab pertanyaan mereka, seluruh siswa langsung diam.

"Saya yang pilih. Minus yang hari ini enggak masuk. Ada berapa orang?"

Satu kelas saling pandang.

"Ray ...." Andi, sang ketua kelas, mengabsen sambil mengacungkan selembar amplop, berdiri lantas maju ke depan kelas. "Ini surat dokter, Pak. Maaf, lupa saya berikan ke wali kelas."

Pak Hanu mengangguk sambil meraih amplop itu dan membuka surat di dalamnya. Keterangan tidak sehat dari dokter. Radang tenggorokan. Sudah berapa kali Ray izin? Pak Hanu geleng-geleng kepala, prihatin. "Ada lagi?" Ia mengangkat wajah, mengamati satu per satu anak didiknya.

Tak ada yang menyahut.

"Dina? Kalian tahu kabarnya?"

Barulah anak-anak itu tersentak dan kasak-kusuk. Nyaris tak ada yang ingat dengan anak pendiam dan agak aneh itu, yang kehadirannya tak disadari, pun kehilangannya tak ada yang peduli. Mengapa dikatakan aneh? Karena ... Dina adalah satu-satunya murid yang memakai kerudung di sekolahnya.

Tahun 1991.

Penggunaan kerudung belum lazim, bahkan cenderung diremehkan. Apalagi jika anaknya memang sengaja menarik diri dari sekitar.

"Dina juga enggak masuk, Pak," jawab Andi akhirnya.

Namun, pandangan Pak Hanu tidak sama dengan anak-anak lain. Justru, binar dan senyuman muncul di wajahnya. "Kalau begitu, pas. Dua orang enggak masuk, mereka Bapak pasangkan. Sisanya bakal dipilih nanti."

"Yaaaah, kok gitu?"

Pak Hanu tak mengindahkan protes anak-anak, lanjut menjelaskan teknis pengambilan nilai praktik yang kali ini diisi dengan berduet. Pak Hanu tahu dengan pasti bahwa tidak semua orang, termasuk murid-muridnya, punya kecerdasan musikal. Ia juga tahu bahwa kalau di pelajarannya, Seni Musik, Ray paling dijagokan. Makanya, banyak yang mengeluh karena pasti tidak dipasangkan dengan Ray. Sebaliknya, Dina ... siapa yang mau dengan Dina? Siapa yang menganggap Dina punya kemampuan?

Pak Hanu lagi-lagi berdeham, berusaha meredam pikirannya yang mulai bercabang.

****

"Apa?!"

Seminggu kemudian, Ray baru masuk. Sosok lelaki berwajah tirus dan bermata tajam itu tidak sesegar biasanya. Radang yang ia alami cukup parah, agak tumben, mungkin efek dari cuaca buruk. Ia masih terbatuk, pun memakai masker. Meski begitu, suara seraknya tetap mengeras ketika Andi menyampaikan kabar tentang kelas Seni Musik.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang