Sosok Lama

10 2 2
                                        

"Kalian pacaran?"

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulut Agnes. Lagi-lagi pula, Ray dan Arin menjawab tegas: "Enggak!"

Tapi tunangan, batin Ray.

"Ray, lehermu kenapa?" tanya Darto. "Kena gebuk apa?"

Ray melengos. Baru hendak bicara, Arin meledak lebih dulu.

"Itu kalian! Katanya mau menjaga kami dari teror, tapi kenapa pada pulang duluan sebelum Ray kemarin?!"

Seketika, ekspresi Darto berubah. "Kemarin?"

"Sudah, sudah," gumam Ray. "Cuma sakit dikit."

"Gila ... ini mah dicekik." Randi ikut berkomentar. Ia tampak frustrasi. "Maaf. Harusnya aku enggak usah buru-buru antar Agnes—"

"Kok jadi aku?!" Agnes langsung protes. "Ta-tapi, maaf, Ray ...."

Eki membuang muka, tampak amat merasa bersalah. Sementara Danang menatap penuh tanya.

Ray menghela napas. "Aku tahu, kalian punya kesibukan masing-masing. Enggak usah urusi kami. Yang paling nganggur di sini." Ia malah kena senggol Arin setelah mengatakannya.

"Ada cara lain," ujar Darto. "Kita selesai lebih cepat, jadi masih ada waktu buat mengantar kalian. Gimana?"

"Aku enggak papa," sambar Agnes.

Yang lain juga mengiakan. Darto memandang arlojinya. "Baiklah, sesi malam ini sampai setengah delapan saja."

Usai tampil, Arin sedang mengobrol dengan yang lainnya, sementara Ray membereskan biola. Isi kepalanya mulai berandai-andai. Kalau ia sudah menikah, nanti ... apa mereka masih rutin tampil? Akan ke mana Ray mengantar Arin?

Ray masih menunduk dan merapatkan ritsleting tas ketika dilihatnya bayang-bayang yang memanjang ke arahnya. Ray menengadah, dan hampir saja terjengkang. Itu ... sosok misterius berkupluk, topi, dan masker tadi. Ray masih terpana ketika sosok itu angkat bicara.

"Malam."

Ray tahu, teman-temannya di belakang kini sudah mode siaga, terasa dari percakapan mereka yang terhenti. Ia bisa merasakan seseorang mendekat dari belakang dan langsung meraih bahunya. Sudah jelas, itu Arin.

"Ma-maaf mengganggu." Sosok itu kembali bicara, meski terdengar gemetar. Jika didengar dari suaranya, juga melihat posturnya, dia ini laki-laki. "Aku ingin bertanya ... apa kamu kenal aku?"

"Hah?" Bukan hanya Ray, Arin juga menyahut. Pasalnya, sosok itu tepat menunjuk Arin.

"Siapa lagi ini?" tanya Ray. Ia sudah lelah dengan orang aneh yang muncul dan mengaku kenal dengan Arin. Ia ini tunangannya, wajar bukan kalau lebih protektif dari biasanya?

"Maaf." Arin akhirnya maju, setelah memberi kode pada Ray dan lainnya untuk tenang. "Tapi, mukamu ketutupan, gimana aku bisa kenal?"

"Oh, ya, maaf." Sosok itu menggerakkan tangannya ke masker dan topinya, meski tampak amat ragu. "Ehm ... agak memalukan."

"Kamu siapa?" Andai jarinya sudah normal, Ray yakin, Arin akan menunjuk-nunjuk lelaki itu.

"Ta-tanganmu kenapa?!" Gerakan lelaki itu terhenti setelah melihat perban di tangan Arin.

"Bukan urusanmu. Kamu siapa?!" Arin mengentak maju, Ray buru-buru menahannya.

Sosok itu akhirnya melepas masker dan topinya. Ray bisa melihat wajah asing di sana. Asing yang sungguhan asing. Kulit putih kemerahan, rambut pirang, dan mata biru. Ia dan Arin sama-sama mematung.

"Bule?" Agnes berkomentar dari belakang.

"Ngomongnya enggak ada logat bulenya, tuh," sahut Danang.

"Uh ...." Lelaki itu tampak amat malu. "Memang aku bukan bule tulen. Tapi ...." Ia kembali menatap Arin. "Kamu, Dina 'kan?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang