Hubungan

8 4 0
                                    

Menurutmu, apa kapan-kapan kita bisa tampil di sana?

Itu pertanyaan Arin soal gedung konser tadi. Ray mungkin bereaksi seadanya. Namun, sebenarnya, perasaannya melambung tinggi. Apalagi mendengar ucapan Arin selanjutnya.

"Aku mau kita tampil di sana, suatu hari nanti."

Kita itu ... kita berdua, atau ...?

"Raaay!"

Ray yang masih berusaha menghabiskan sisa schotel langsung tersedak. Ia melihat Agnes, melambai heboh padanya, juga Randi yang berjalan cepat di sisi pacarnya sambil sibuk membenarkan kacamata. Ray menyeringai. "Mau berduaan, ya? Oke, aku melipir."

"Lo, tumben bawa bekal ... pasta?" Agnes menelengkan kepala. "Masak sendiri?"

"Enggak. Aku dikasih."

"Dikasih siapa?"

Ray hanya angkat bahu, malas menjawab.

"Sudah ketemu cewekmu?" tanya Randi tiba-tiba.

Ray sudah cukup terkondisikan untuk tidak tersedak lagi. "Aku enggak punya cewek," jawabnya datar.

"Arin tuh kalau enggak muncul, berarti sakit." Agnes tampak merenung. "Aku belum jenguk, padahal udah seminggu. Maklumlah, lagi banyak tugas kuliah."

"Kalau sebelum-sebelumnya, dia gimana?"

Pertanyaan Ray malah membuat Agnes tersenyum lebar dengan tatapan meledek ke arahnya. "Kamu lo, yang jujur. Penasaran sama Arin, 'kan?"

Ray berdeham. "Ya, penasaran. Udah. Terus, kenapa?"

"Setelah ninggalin dua tahun?" sahut Randi.

"Jangan dibahas terus!"

"Yah, pokoknya ... Arin yang sekarang, dengan yang kukenal pas SMP, itu agak berbeda." Agnes tampak berpikir. "Kenapa kubilang 'agak'? Hei, kamu pasti mikir kalau dia sangat berbeda. Sejak kelas 9, kami akrab, dan aku sudah biasa dengar dia bicara panjang lebar ... meski dia masih tertutup soal kehidupannya. Sejak dua tahun lalu, Arin sudah lebih membuka diri. Dia bahkan sering mengajak kami ke rumahnya, main musik di sana."

"Memang berbeda," gumam Ray. "Lalu? Apa dia kelihatan muram?"

"Muram gara-gara kamu, Ray!" Agnes langsung menunjuk hidung Ray. "Kayaknya, kalau masalah di antara kalian udah beres, dia bakal seratus persen ceria!"

Seratus persen ceria. Benarkah? Kalau tadi adalah gambarannya, Ray tidak merasa. Arin masih sering tiba-tiba terdiam dan menghela napas, seolah masih punya beban. Namun, Ray sungkan untuk bertanya. Seperti orang tuanya yang punya masa lalu, Arin juga begitu, bukan?

"Kalau kamu lepas dari status jomlomu, aku traktir," ujar Randi serius.

"Enggak usah!" sahut Ray berang.

Agnes malah tertawa. "Agak mimpi ya, lihat Ray punya pacar. Apalagi kalau itu Arin. Dulu beratem melulu."

"Diam!" sahut Ray. Ia buru-buru berpaling, menyadari wajahnya memanas.

Beruntung, setelah itu, personel lain berdatangan. Tak butuh waktu lama sampai semuanya siap. Sarah, istri Darto, bahkan turut serta di lingkaran para pemusik itu. Katanya, sekali-kali mau bergabung.

"Saya mungkin bakal pergi seminggu," ujar Darto. "Jarang-jarang 'kan saya keluar kota? Nah, selama itu, kalian bebas ngapain. Pada tahu alamat rumah masing-masing, 'kan? Nanti saya berkabar ke salah satu dari kalian aja. Lewat surat atau telegram, mungkin."

Yang ditunjuk menjadi ketua sementara adalah Danang. Ia bilang, tak perlu ada penampilan seminggu ke depan. Pasalnya, mereka semua memang sibuk.

"Nanti tes ombak aja, setelah seminggu, pada datang ke sini atau enggak." Danang terkekeh. "Nah, masalahnya itu Arin ...."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang