"Kondisinya lebih lemah daripada seharusnya, meski pernapasan, juga denyut jantungnya cukup stabil."
Arin berdiri di hadapan ranjang ruang rawat VVIP itu. Tindakan sudah diambil, pemeriksaan sudah selesai, sekarang masalahnya satu: Ray belum sadar.
"Dia koma." Iskandar menunduk di sebelah Arin. "Dia ...."
"Abi." Arin sungguh ingin menghibur, tetapi ia sendiri juga amat tertekan. Ada beragam trauma membayang di pikirannya.
"Rin? Perasaanmu gimana? Sedihmu itu valid, rasa kecewa dan marahmu juga."
Arin kembali menunduk. Hatinya masih merasa perih. Diliriknya monitor yang diletakkan di sebelah ranjang, menunjukkan detak jantung pasien yang masih amat lemah.
Arin sampai tak berani melihat wajah Ray lagi. Kesedihan itu begitu terasa, ketika melihat seluruh kepala yang berbalut perban; selang ventilator yang terpasang; juga infus nutrisi di tangan pucat lelaki itu. Ray sempat kehilangan banyak darah. Beruntung, tak ada drama tranfusi darah karena stok di rumah sakit cukup. Tetap saja, Arin kalut.
Ray koma.
Tadi, begitu melihat Ray setelah semalaman, Arin langsung histeris—meski ditahan suster. Arin akhirnya bisa menyentuh tangan lelaki itu. Membiarkan air matanya menetes ke wajah Ray. Lalu ia terpejam-pejam ketika Ray dipasangi ventilator karena kadar oksigennya yang kian menurun.
"Tolong izinkan aku, Abi. Minta izin ke Ayah juga kalau ketemu."
Iskandar melirik. Apa?
"Aku akan tinggal di sini sampai Ray sadar."
****
Arin tidak sendiri. Eugeo setia di sisinya, seolah mengisi kekosongan hatinya.
"Kita perlu HT," ucap Eugeo serius. "Ponsel mahal."
"Gaya-gayaan banget, kamu," seloroh Arin.
"Kita enggak bisa terkurung di sini sepanjang hari. Paling enggak, aku bakal sesekali keluar, nganterin bawaan buatmu. Mana aku tahu kamu butuh apa aja?"
Arin menghela napas. "Semoga Ray enggak lama tidurnya."
"Tidur ... tidur." Eugeo terdengar mengomel, tetapi tak jelas maksudnya apa. Lelaki itu menghampiri ranjang Ray, dan keluarlah omelan itu. "Yeu, cowok kok lemah, habis bantu cewek malah semaput!"
Arin serasa jantungan mendengarnya. "Kamu kenapa, sih?" Ia berusaha keras menahan emosi.
"Kamu pikir kenapa? Apa aku enggak boleh kesal sama yang katanya bakal terus menjagamu, tapi malah enggak sadar begini?"
"Kamu pikir, dia begini gara-gara apa?!"
Mereka akhirnya diam ketika dokter dan perawat tiba-tiba masuk, hendak memeriksa. Dokter berkata Ray butuh diinfus obat tanpa perlu tindakan lebih jauh.
"Otaknya ... otaknya baik-baik saja, Dok?" tanya Arin cemas.
"Ia mengalami trauma di kepala dan gegar otak. Fraktur di tengkorak sudah aman, insyaallah. Sekarang menunggu kesadarannya saja." Dokter itu menatap Arin dan Eugeo. "Kalau ia sadar, tolong awasi baik-baik. Jangan sampai terkejut atau terbentur sesuatu meski sedikit. Karena ... gegar otaknya cukup parah."
Arin dan Eugeo mengangguk. Keduanya kompak menghela napas begitu dokter itu berlalu.
"Geo, aku akan benci kamu kalau kamu masih nyalahin Ray," gumam Arin.
"Sori ...."
"Apa yang bikin kamu kesal sama dia? Selain karena dia sudah jadi suamiku?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024