Kepulangan

14 1 0
                                    

Tiga hari sebelumnya

"Ray, anakku yang ganteng!"

Ray terkesiap ketika baru menjejak rumahnya setelah dua tahun. Siti sudah berdiri di sana, sigap menyambut dan menerjangnya.

"Kamu tambah tinggi banget!"

"Ya, 'kan?" Iskandar tertawa. "Tinggi Abi kalah, lo. Perasaan, pas berangkat, kamu masih segini." Ia memberi isyarat ke telinganya.

"Apa Umi punya anak yang enggak ganteng?" Malah itu tanggapan Ray. Ia segera kena cubit.

Saat itu masih siang menjelang sore, dengan waktu tempuh yang mirip ketika berangkat: naik bus pukul enam pagi, sampai pukul dua siang. Antara Kota Gunung dan Kampung Pelabuhan memang terpaut jarak ratusan kilometer, tetapi itu bukan jarak yang cukup jauh untuk sekadar disambangi minimal setahun sekali.

Meski begitu, sampai Ray pulang, orang tuanya tidak pernah datang ke kampung.

Ray tak mau ambil pusing. Ia menyalami ibunya, kali ini dengan lebih khidmat, lalu segera ke kamar setelah meletakkan tas tangan berisi oleh-oleh. Untung, kemarin, ia baru mencuci baju. Baju kotornya tidak terlalu menumpuk. Ia asyik memilah isi koper sampai dasar, lalu menjemur kopernya di halaman belakang.

"Kapan mulai kerja?"

Ray tersentak. "Lah, Bi, bukannya sebelum ke kampung aku sudah kerja, ya?"

"Iya, kamu naik pangkat, dari babu ke asisten Abi."

Ray merengut sementara Abi tertawa.

"Seriusan. Dulu kamu enggak digaji. Sekarang, udah punya sertifikat, kamu sudah berhak."

Andai Ray punya telinga kucing, pasti sudah menegak. Siapa yang tidak senang mendengar kabar akan digaji?

"Tapi, jobdesc kamu nambah, ya!" Iskandar bersedekap. "Dan kamu harus bikin satu biola dulu, sendiri. Abi awasi."

Ray menyanggupi, tetapi tidak hari ini. Ia masih lelah dari perjalanan jauh.

"Oh, nanti malam, kamu ke kota?"

".... Ngapain?"

"Ikut Abi, ya. Biar Abi perkenalkan secara resmi." Iskandar merangkul bahu Ray yang lebih tinggi darinya.

"Perkenalkan ... apaan?" Ray tiba-tiba tegang.

"Kamu sang pembuat biola, yang akan melanjutkan bisnis Iskandar ini."

****

Ray tidak berpikir macam-macam, alias ia berusaha tenang. Ia, bersama ayahnya, mampir ke dua toko musik di kota. Toko yang juga merangkap tempat servis alat musik dan pengumpul alat musik bekas. Meski begitu, jika hendak memasok biola, mereka akan menghubungi Iskandar.

"Apa Abi biasa untung banyak dari menjual biola ke toko musik?" tanya Ray.

Iskandar tertawa meringis. "Keuntungan paling besar bukan dari penjualan biola, karena modalnya gede, meski harganya juga mahal. Jasa servis biola lebih menguntungkan. Kadang, Abi bawa orderan dari toko musik. Lebih enak kerjain di bengkel sendiri."

Ray manggut-manggut. Ia mengikuti ayahnya berjalan ke satu tempat lagi. Tunggu, jalan ini ... familier. "Alun-alun?" Ray siap kabur jika melihat siapa pun yang ia kenal. Mestinya, belum ada yang tahu soal kepulangannya.

"Bukan," jawab Iskandar. Ia terus melangkah, sementara Ray mengendap-endap ... dan malah langsung berpapasan dengan Agnes.

Dua orang itu diam beberapa detik.

"Ha? Kayak kenal." Agnes memiringkan muka. Ekspresinya berubah ketika ia tampak menyadari sesuatu. "Ray?" Ia terperanjat. Sangat.

"Sssst!" Ray celingukan, mencari jejak Iskandar sekaligus gerombolan pemusiknya. "Aku buru-buru. Jangan bilang apa-apa soal aku!"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang