Seasons of the Heart

9 2 1
                                    

Makan waktu cukup lama bagi Ray untuk beradaptasi.

Tangannya masih sering tremor, meski genggamannya sudah lebih baik. Apalagi lepas malam itu, setelah ia lagi-lagi dipukuli. Kepalanya jadi makin sering terasa berdenyut, bahkan ia harus bedrest berhari-hari, nyaris tak bisa bangun.

"Abi benar-benar belum bisa memberimu pekerjaan di bengkel," ujar Iskandar. "Abi juga belum bisa bolehin kamu ke Rumah Bukit."

"Ahaha ... maafkan aku."

"Abi maafkan kamu, toh kamu sudah kena batunya."

Ray menyeringai. Ia dimarahi orang tuanya malam itu. Proses penyembuhannya bisa terhambat, apalagi kepalanya kena hantam.

Di luar itu, ia tak bisa menolak bantuan dari Nuris yang memaksa. Bengkel dulu mungkin dibangun Kakek dengan uangnya sendiri, untuk Iskandar seorang, dan memicu kecemburuan antarsaudara. Namun, kali ini, Iskandar menerima bantuan Nuris untuk renovasi. Mereka kembali hitung-hitungan, mengingat status mereka yang sudah besanan. Apalagi setelah Nuris tahu bahwa pelaku yang membakar bengkel itu adalah Jim.

"Dosa saya terlalu banyak. Benar kata Eugeo. Karena keegoisanku, Ray, keluarga Anda, jadi kena banyak hal. Saya harus membayar semua."

Iskandar tampaknya paham, Nuris akan terus menerus berada dalam penyesalan mendalam jika tidak diterima. Lagipula, ucapannya benar. Namun, Ray tidak terlalu paham. Iskandar malah hanya senyam-senyum menanggapi pertanyaan Ray.

"Ray, jangan lupa, kamu belum resepsi."

Hampir saja Ray tersedak. Seketika, pikiran lama kembali menghantui. Uang ... uang ... aku enggak bisa kerja. Aku miskin!

"Jangan khawatir, Ray. Kami para orang tua punya solusi."

Ray hanya bisa menatap pasrah ketika ketiga orang tua itu tersenyum lebar ke arahnya, sebelum berbalik dan asyik berdiskusi.

Hari itu, ia berada di rumah Nuris. Iskandar dan Siti menyebutnya Rumah Kota, karena sudah seperti rumah kedua–atau ketiga—mereka. Apalagi, mereka juga sudah disediakan kamar masing-masing. Rumah Kota memang sangat besar dan bisa memuat banyak tamu.

"Ray!" Eugeo muncul. "Sudah bisa naik tangga?"

"Lo, aku bisa udah dari lama."

"Arin suruh kamu ke kamarnya."

"Ngapain?"

"Hadeh, masa istri sendiri dipertanyakan?"

Ray menurut. Ia bangkit dan berjalan pelan—ia dipinta untuk tidak cepat-cepat bergerak. Padahal sudah hampir dua bulan sejak insiden bom, tetapi Ray merasa ia tak kunjung sembuh.

"Silakan masuk, Tuan." Eugeo membungkuk hormat.

"Enggak usah sok." Ray menepuk punggung Eugeo keras-keras. Ia membuka pintu kamar dan terpaku.

"Ray!" Di situ, ambang jendela, Arin duduk. Penampilannya biasa, dengan kerudung hitam, jaket hitam, blus putih, dan celana kulot hitam, lengkap dengan bandana rajut khasnya. "Sore ini kita ngumpul lo, kok belum siap-siap?"

"Oh ... ya ya?" Ray menggaruk kepalanya. "Aku ... sudah enggak bisa main biola ...."

"Ah, masa?" Arin turun dari ambang jendela. "Aku menyimpannya sekian lama, tapi kenapa enggak kunjung kamu pertanyakan?" Arin membuka lemari, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. "Tara!"

Tangan Ray seketika gemetar.

Itu biolanya. Eksistensi benda yang tak pernah ia lupakan, hanya sengaja tidak pernah Ray pertanyakan, karena ia takut. Ia takut sudah kehilangan biolanya. Ia takut mengingat bagaimana ia melempar tas itu entah ke mana, sebelum meraih Arin dan menyelamatkannya. Satu bulan tiga minggu tepatnya ia tak melihat instrumen kesayangannya, kawan karibnya sejak lama itu. Dan kini, kotak biolanya ada di dekapan Arin.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang