Outro ... or Bridge?

8 1 2
                                    

Dua hari setelah resepsi, sidang kejahatan serius perkara bom dan rangkaian teror dari penguntit digelar. Ray dan Arin tidak menghadirinya. Nuris sebagai penggugat; Eugeo, Randi, dan orang tua Ray sebagai saksi. Randi mengajukan dirinya sendiri tanpa diminta.

"Maaf kalau memecah hari-hari tenang kalian," ucap Siti begitu Ray dan Arin muncul di ruangan, "tetapi, kami harus menyampaikan ini secepatnya."

"Apa ada kabar buruk?" tanya Ray. Ia sudah merangkul Arin erat-erat, siap dengan segala berita.

"Yah, buruk enggak buruk. Duduk dulu, Ray, Rin. Kamu juga, Geo." Nuris menunjuk sofa di ruangannya.

"Hakim mengetuk palu atas hukuman sepuluh tahun penjara."

"... Untuk orang itu?" Ray sampai tak mau menyebut namanya.

Nuris mengangguk. "Mungkin, itu sudah cukup berat, tetapi terlalu ringan untuk hitungan empat bom bunuh diri yang mengincar seseorang. Kamu tahu, Ray? Dia menggunakan hipnosis untuk mengendalikan empat orang yang membawa bom. Dia pembunuh."

Mata Ray melebar. Ia makin mengeratkan rangkulannya ke Arin. Arin sendiri makin rapat ke Ray.

"Kami melawan pengacara mahal," lanjut Iskandar. "Dan ... hukuman sepuluh tahun pun sudah berdarah-darah mendapatkannya, kalau saja ... Mister bukan orang kaya ...."

Nuris berdeham. "Karena itu, kalian berdua, manfaatkan sepuluh tahun ini. Keputusan ada di tangan kalian. Ayah hanya bisa membantu dari belakang."

"Ayah, jangan menyuap hakim lagi," celetuk Eugeo, disambut pelototan Nuris.

"Anak-anakku," panggil Siti, "Umi siap membantu kalian untuk tinggal di Rumah Bukit. Itu tempat teraman untuk kalian, untuk sekarang ini, juga nanti."

Ray mengangguk. "Gimana, Rin? Kita pindah, kalau kamu sudah siap pindah."

"Hei, kalian masih bisa tinggal di sini juga, kok. Kami enggak lagi mengasingkan kalian. Cuma memberi tempat tinggal ... sekaligus persembunyian." Iskandar melanjutkan sambil tersenyum.

"Aku siap jadi kurir," sahut Eugeo. Ia sudah pernah sekali ke Rumah Bukit. Reaksinya mirip dengan Arin: langsung berjingkrakan. Ia juga langsung mengguncang-guncang Ray yang hanya pasrah, Ini yang kamu maksud Rumah Bukit di mimpimu?!

"Kalian harus ingat," Eugeo melanjutkan, "sepuluh tahun lewat, ia masih mencari Arin kemari. Dia bukan tipe orang yang melupakan, bahkan cenderung mendendam. Ray, Rin, aku mohon, bersiaplah untuk sepuluh tahun lagi."

"Kalau punya anak," gumam Arin tiba-tiba, "apakah mereka akan aman?"

Ruangan itu hening sejenak.

"Sepuluh tahun itu bukan waktu singkat. Seorang anak bisa sampai kelas lima SD," gumam Ray. "Aku ... ingin menjaga keluargaku."

"Sekali lagi, keputusan ada di tangan kalian," ujar Nuris. "Karena, sekarang, insyaallah sedang kondusif. Kalian aman."

"Aku dengan senang hati tinggal di sana," ujar Arin. "Ray?"

"Aku juga ... kalau renovasinya sudah kelar." Ray tersenyum. "Abi? Kerjaan kita tetap dibagi dua?"

"Tentu saja, sampai kamu menemukan jalan hidup baru." Iskandar terkekeh.

Lepas pembicaraan itu, bukannya kembali ke kamar, Ray bersama Arin dan Eugeo malah duduk-duduk di gazebo halaman belakang, dengan kudapan sisa di pantry dapur.

"Aku menghargai semuanya," ujar Arin. "Geo, kamu saudaraku. Ray, kamu suamiku. Kalian berdua adalah orang-orang paling berharga bagiku."

"Kenapa kamu tadi bahas anak, Rin? Apa kalian sudah ada rencana punya anak?" tanya Eugeo. Ia tampak antusias.

Arin melirik Ray. Ray tertawa kecil. "Kalau iya, kamu mau apa?"

"Aku akan jadi paman yang baik." Eugeo meregangkan tubuhnya, lalu bersandar ke pagar gazebo. "Aku enggak berani mikir bakal nikah. Aku mau main sama anak kalian aja."

"Pikiran macam apa itu, Geo?" sahut Ray datar.

"Hei, aku ini mau kuliah. Baru saja daftar paket C. Aku enggak mau nikah sebelum lulus kuliah, oke?" Eugeo menunjuk Ray.

"Ya, Geo. Tenang saja. Anak kami bisa kamu anggap anakmu juga," seloroh Arin.

"Anaknya aja belum ada," gumam Ray. "Berarti, kamu siap dikaryakan jadi babysitter ya, Paman Eugeo?"

"Dengan senang hati! Aku enggak mau nikah. Tapi aku mau punya anak."

Arin seketika menyembur. "Ucapanmu berbahaya sekali, Geo."

"Apa dia korban pergaulan bebas?" komentar Ray.

"Bukan yang kayak begitu!"

Tiga orang itu tergelak.

"Langit dari Rumah Bukit jauh lebih jelas," gumam Ray ketika ketiganya memandang langit dalam diam. "Kalau aku menanam bahan makanan dan beternak di sana, apa aku bisa hidup soliter?"

"Kenapa soliter?" sahut Eugeo.

"Aku paham. Apa kamu berpikiran untuk enggak lagi ke kota?" Arin menatap Ray, tersenyum miring.

"Ya. Aku parno. Akunya sendiri enggak papa. Tapi, gimana anakku nanti? Apa aku akan mengurungnya di rumah? Enggak juga. Nanti dia kayak Arin. Susah diatur."

"Ray!" Arin meninju tangan Ray.

"Akan kuputuskan nanti." Ray menghela napas. "Ya, Rin? Eugeo, kamu juga bantu kami. Nanti boleh nginap di Rumah Bukit, deh, kalau kamarnya udah nambah."

"Aku akan membantu kalian, asal kalian bantu aku!" Eugeo kembali meregangkan tubuh.

"Ray, ambil biolamu. Aku mendadak ingin main musik," ujar Arin tiba-tiba.

Ray melirik Arin, tetapi mengiakan. Ia kembali ke gazebo dengan biola, sementara Arin sudah siap dengan okarina, dan Eugeo sudah siap menyimak.

"Lagu yang kita bikin di danau dulu, Ray. Yang tentang sahabat jadi cinta." Arin tersenyum malu-malu, sementara Eugeo langsung berseru, aduhbeuuhhh.

"Oke." Ray meletakkan biolanya di pundak. "Kemampuanku mulai pulih. Geo, ketuk lantai dengan birama! Ya, begitu! Rin, kita masuk di hitungan keempat."

Malam itu, lantunan okarina yang sendu bersanding dengan suara menyayat dari biola. Eugeo, masih mengetuk lantai, geleng-geleng kepala mendengarnya.

"Bagus, sih, tapi daripada romansa, ini lebih kayak lagu sedih."

[ditamatin begitu saja]

FIN.

****

Hai hai

Sampai bertemu dengan kelanjutan mereka di Our Land (versi revisi)! Semoga saya masih kuat ngetik tahun ini.

Sebagian besar yg mau kusampaikan udah kutulis di a.n. bab "Harga Diri." Jadi, aku ... ga tahu mau nulis apa sekarang, kecuali ... aku bakal post beberapa backstory, termasuk soal Jim, meski aku nulis ini udah lama dan kemungkinan gak kuedit lagi, jadi versi first draft halu. (Disclaimer! Halu banget.)

Gak ada kaitan bab esktra dengan alur cerita di sini. Aku up cuma buat nambahin kerjaan diri. (hoi) Gak ada paksaan juga buat baca, aku sendiri capek pas baca ulang.

Sekian, terima kasih ... terutama buat yg ikutin sampai tamat.

Jkt, 14/7/24
zzztare

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang