Menanti

4 2 0
                                    

"Kalau memang ada yang mau disampaikan, kenapa enggak coba bikin surat aja?"

"Surat?"

Pagi itu, Arin sudah berada di Rumah Hutan. Kebetulan Iskandar sedang pergi, maka ia benar-benar menemani Siti. Kali ini, ia membantu membuat adonan kue donat. Hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, makanya ia begitu antusias.

"Iya. Itu 'kan tujuanmu ke sini?" Siti membaluri tangannya dengan tepung. "Udah kamu campur semua, Rin?"

Arin menyorongkan baskom berisi adonan yang baru dicampurkan. Ia mengaku belum paham cara menguleni, maka Siti dengan senang hati mendemonstrasikan.

"Kamu tahu, Rin? Bentuk asli donat itu enggak bolong di tengah." Siti asyik menguleni adonan, meski tangannya jadi belepotan. "Bentuknya itu ... emm ... memanjang. Tapi, saya enggak pernah lihat langsung, sih."

Arin hanya manggut-manggut.

"Ini harus diuleni sampai enggak lengket ke tangan lagi," ujar Siti. "Bantu kasih tepung lagi, Rin."

Lima belas menit kemudian, Siti menutup baskom berisi adonan yang sudah diuleni dengan cling wrap. Katanya, tunggu dua jam lagi.

"Kamu bebas 'kan hari ini?" tanya Siti setelah mempersilakan Arin duduk di bangku halaman belakang.

"Aku ... bebas terus," gumam Arin. Sebenarnya, ia sedikit merasa bersalah. Bukannya menempuh pendidikan atau apa, ia malah bermain dan keluyuran tiap hari. Namun, tak ada tekanan dari mana pun untuk melakukan sesuatu. Sepertinya, sang ayah sudah kapok menyuruhnya.

Siti tersenyum. "Makasih sudah mau datang, ya. Saya benar-benar senang punya teman mengobrol." Ia terkikik. "Faktanya, Ray kadang-kadang bantu saya di dapur, tapi dia lebih sering diembat bapaknya buat ke bengkel. Itu, di sana." Ia menunjuk bangunan kayu yang hanya terpisah beberapa langkah dari rumah. "Bengkel biola. Kamu tahu suamiku itu pembuat biola?"

Arin mengangguk, meski agak ragu.

Siti menghela napas. "Nah, kalau Ray lagi bantu saya, kayak tadi itu. Saya jadi senang karena ada teman ngobrol." Ia memalingkan wajah. "Kamu mengobati kerinduan saya."

Arin merasa jantungnya berdetak lebih keras.

"Kami sudah mengirim surat pertama, mungkin nanti bakal dia balas. Itu satu-satunya cara menyampaikan pesan sekarang. Makanya saya tanya, kamu enggak coba bikin surat aja?" Siti menatap Arin penuh arti. "Kamu bilang, kamu ke sini karena mau minta maaf, ada masalah."

Wajah Arin memanas. Mengapa Siti masih mengingat racauannya?

"Kalau memang ada masalah, harus cepat-cepat dibereskan. Jangan nunggu lama."

"I-iya, Bu."

"Kamu bisa titip ke kami. Tenang, kami enggak bakal buka surat orang." Senyuman Siti melebar. "Kamu toh enggak tahu alamat dia di sana?"

Arin menggeleng. Enggak perlu tahu!

"Tapi, enggak jamin bakal cepat dibalas, ya."

Arin kini mengangguk. Ia tidak butuh balasan ... untuk sekarang. Ia cukup menyampaikan sesuatu yang mengganjal selama ini. Soal sikapnya yang keterlaluan, padahal sudah disapa baik-baik. Yah, mendapat kepastian memang lebih membuatnya lega, tetapi membayangkan Ray khusus mengiriminya surat hanya untuk membalas permintaan maafnya, Arin jadi sakit perut.

Tanpa berharap, Arin menyusun kata-kata.

Assalamu'alaikum wr wb

Selamat pagi/siang/sore/malam.

Apa ini dengan Rayhan AL? Kalau ya, tolong baca. Kalau bukan, tolong abaikan.

Mungkin kamu lupa padaku, juga namaku. Perkenalkan, namaku Dien Ariannisa. Dulu aku dipanggil Dina. Panggil aku Arin mulai sekarang.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang