Coda

9 2 0
                                    

Ketika Ray sudah dianggap cukup kuat lagi, yang ia lakukan pertama kali adalah mengajak Arin ke Rumah Bukit. Sesuai dugaannya, perempuan itu antusias sampai jauh meninggalkan Ray di hutan selama menanjak bukit.

"Raaaay, yang itu rumahnya?"

"Kamu nunjuk apa, enggak kelihataaan!" seru Ray yang masih tertinggal di jalan setapak hutan.

Arin muncul lagi, tersipu-sipu, sambil berusaha menyamakan langkah dengan Ray. "Cuma ada satu rumah di sana. Kamu jangan gitu, ah."

Begitu mereka tiba di bukaan padang rumput, di mana terdapat rumah kecil di sana, Arin langsung melonjak dan berlari kegirangan setelah Ray mengiakannya.

"Aku merasa kenal tempat ini ... bengkel di sudut ini! Ruang tamu ini! Tapi, mana pernah aku ke sini!" Arin sibuk berseru-seru, sementara Ray hanya tersenyum.

"Ray, kapan kita bisa pindah ke sini?" tanya Arin.

"Renovasi dulu, Sayang." Ray mengusap pucuk kepala Arin.

"Dih, sayang-sayang!" cibir Arin. Namun, ia biarkan tangan Ray di kepalanya.

"Ada banyak pertimbangan, Rin. Yang jelas, akses buat beli makanan dan bahan baku lain bakal lebih sulit. Apa kamu sudah siap?"

"Hmmm ...." Arin tampak berpikir, meski ia lebih seperti pura-pura saja. "Apa ada stok makanan di sini?"

"Ada, mi instan."

"Malam ini, kita nginap, yuk!" seru Arin bersemangat. "Lagian, makan mi di tempat begini ... nikmat banget!"

Ternyata, Arin yang tidak sabar untuk segera pindah. Maka, Ray meminta izin ke orang tuanya, juga Nuris, untuk pindah selama beberapa hari.

"Kalau kamu di sana, kamu enggak bisa sering-sering ke bawah, Ray. Kamu belum bisa banyak berjalan." Iskandar memperingatkan.

"Aku tahu, Bi. Makanya, anggap kami lagi liburan saja, ya? Beberapa hari aja, sebelum jadwal latihan dari Ayah."

Nuris memang mulai mengumumkan jadwal latihan untuk penampilan mereka. Tiga bulan penuh. Sementara itu, Ray dan Arin memilih kabur sementara. Mereka sungguhan tinggal di Rumah Bukit, dan meski keadaannya sangat sederhana, Arin tampak sangat bahagia.

Malam itu, Arin dan Ray duduk di muka pintu rumah mereka, di puncak bukit, menatap bintang-bintang tanpa terhalang apa pun, sambil saling berpegangan tangan.

"Makasih sudah memilihku." Arin menunduk. "Sudah memberiku banyak hal, banyak kejutan, sudah ... menyelamatkanku ...."

"Sama-sama," sahut Ray. "Hm, aku juga mau bilang makasih ... udah menerimaku?"

"Ray, semua orang menerimamu."

"Tapi yang lain bikin aku emosi. Kamu doang enggak."

"Oh, yakin enggak?" Mata Arin berkilat.

"Oke, yang lain." Ray bertopang dagu. "Orang-orang cuma melihat kemampuanku bermain biola."

"Dan tampang."

"Oke, tampang." Ray nyengir. "Tapi mereka ngomongin aku dan sifatku di belakang. Um, aku lagi ngomongin pas sekolah, masa-masa penuh kepalsuan. Aku baru merasakan pertemanan yang tulus sejak bergabung dengan grup musisi. Mereka mem-bully-ku dari depan dan belakang sekaligus. Ha!"

Arin tersenyum. "Kuakui, aku enggak cuma melihatmu dari dua hal itu. Aku paham sifatmu karena kita agak mirip. Sama-sama jutek. Aku malah sempat takut padamu. Tapi, kamu tahu kapan aku pertama tahu kamu di sekolah?"

"Kapan?"

"Pas kelas 7." Arin menarik napas dalam. "Kamu punya akses ke ruang musik, 'kan? Aku juga. Tapi, alasan Ayah dan Pak Hanu memberiku izin berbeda. Aku boleh ke sana kapan pun aku mau karena aku butuh terapi, dan aku baru bisa tenang kalau main musik. Masa-masa itu, aku sering tiba-tiba histeris tanpa tahu sebabnya. Itu ... enggak lama setelah Eugeo dibawa kabur dan aku sempurna lupa, cuma meninggalkan trauma."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang