Damai

6 2 0
                                    

Kesadaran Ray berimbas ke banyak hal.

Minimal empat dokter masuk ke ruang rawat dini hari sampai pagi itu. Dokter saraf, dokter gizi, dokter kulit, dokter paru. Begitu ventilatornya dilepas, Ray langsung beristigfar. Ia tampak kaget bernapas. Dan Arin, benar-benar langsung menciumnya—setelah mereka hanya tinggal berdua.

"Arin," gumam Ray. Lidahnya masih kelu. "Arin."

"Ya, aku di sini, Ray." Arin tak mau beranjak dari sisi Ray. "Kamu perlu apa?"

"Arin." Ray tampak berusaha keras melafalkan. "Aku ... aku hilang berapa lama?"

Sebenarnya, Arin dengan senang hati akan menjawabnya jujur, tetapi ia takut. Takut Ray akan syok mendengar jawabannya. "Agak lama. Kamu mungkin enggak siap buat tahu."

"Abi? Umi?" Ucapan Ray terdengar gagu. "Aku ... aku, merepotkan semuanya, ya ...."

Justru Arin yang syok ketika tiba-tiba Ray terisak. Bagaimana tidak? Selain semalam, Arin sama sekali tak pernah melihat Ray menangis. Air mata lelaki itu mengalir, tangannya yang menggenggam tangan Arin terasa dingin.

"Uang rumah sakit," gumam Ray. "Belum uang renovasi bengkel. Renovasi rumah. Dan aku ...." Ray melepas pegangannya ke Arin. "Aku, enggak bisa lagi bekerja ...."

Tangan Ray gemetar hebat. Itu bukan karena rasa sedihnya. Itu tremor akibat efek samping benturan.

"Arin, aku ... miskin—"

"Ray, setop!" Arin meraih tangan Ray, menggenggamnya erat. "Kamu baru bangun. Tolong, fokus ke pemulihanmu dulu. Uang bisa dicari. Tapi, kamu!" Arin berusaha keras menahan emosi, meski air matanya sudah siap tumpah lagi. "Kalau kamu hilang. Kalau kamu enggak bangun lagi ... kami yang enggak bisa, Ray!"

Ray tampak terperangah, meski ekspresinya terbatas. "Maaf ...."

"Kamu sebulan enggak bangun, Ray." Arin menempelkan tangan Ray ke wajahnya. "Aku takut ... aku takut kehilanganmu ...."

Ruangan itu hening, hanya menyisakan isakan Arin.

"Arin."

Tangan Ray bergerak, melepas tangan Arin darinya, lalu menyentuh kepala Arin.

"Kemarilah. Satu bulan, pasti masa yang berat buatmu, ya?"

Arin masih tak berhenti menangis. Ia akhirnya memanjat kasur, duduk di sebelah Ray yang posisinya sudah diganti agak menyamping sejak tadi, setelah Ray mengaku bagian belakangnya amat sakit.

"Terima kasih sudah bertahan." Kedua tangan Ray menangkup wajah Arin. "Bahkan dengan kondisiku yang sudah enggak bisa apa-apa ini. Aku ... aku yang harus berterima kasih padamu, Rin. Kamu enggak meninggalkanku ...."

"Aku enggak bisa kalau bukan kamu, Ray!" Arin mencengkeram tangan Ray. "Kamu hampir mati karenaku. Mana mungkin aku ninggalin kamu!"

"Maaf ...." Wajah Ray tampak pucat. "Aku ... mual ...."

Begitu saja, Ray memuntahkan cairan di atas kasur. Belum ada makanan padat yang tercerna olehnya. Arin dengan sigap menarik selimut dan mengambil lap, lantas mengusap wajah Ray. Masih ia ingat bagaimana lelaki itu membersihkan wajah Arin ketika baru muntah.

Seorang perawat mengganti selimut dan sprei. Sementara itu, Ray terus menanyakan kedua orang tuanya.

"Sebentar lagi mestinya mereka datang." Arin menyentuh kepala Ray, amat pelan, lalu menelusuri pelipisnya. "Kumohon, jangan anggap dirimu beban, Ray. Aku sudah sering merepotkanmu. Aku enggak bakal merasa impas sebelum ... aku juga direpotkan olehmu."

Ray tampak pasrah. Ia sempat tertidur sebelum Iskandar dan Siti datang. Pertemuan itu amat mengharu-biru. Siti menangis, Ray menangis, bahkan Iskandar menangis.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang