Tersampaikan

8 3 9
                                    

Malam-malam, Ray diobati di rumah Arin. Riweh sekali malam itu. Ia juga diantar pulang naik mobil Nuris.

"Sering-sering ke rumah, Ray. Sepertinya, saya belum bisa membolehkan Arin pergi malam-malam dulu. Ada saja kejadian." Itu ucapan Nuris ketika mengantar Ray.

Salah siapa? Ray mengerang dalam hati. Namun, ia mengiakan saja.

Lebam di leher Ray cukup menonjol, apalagi Ray jadi sulit menelan. Ray terpaksa bercerita ke orang tuanya, tanpa menyebut nama. Siti langsung masuk mode "emak-emak protektif," sedangkan Iskandar menghela napas.

"Penguntit itu, hm," gumam Iskandar. "Meski Abi mengenal Mister sejak lama, dan hampir selalu berhubungan dengannya, tapi sepertinya masih ada yang terlewat. Ray, kamu, kita memang harus hati-hati. Masa lalu yang dikatakan Mister itu bukan main-main."

Ray mengangguk.

"Terus, gimana? Ini masuk tengah Agustus, lo."

Ray terkesiap dan langsung terbatuk. Sakit di lehernya kian terasa. "Y-ya?"

"Apa kamu enggak terpikir memberikan kejutan ulang tahun?" Iskandar tersenyum meledek. Pahamlah Ray apa maksudnya.

"Abi, aku ...." Ray menunduk. "Enggak tahu, deh."

"Apa?"

"Aku belum kaya!" Ray tiba-tiba menggebrak meja. "Kadang, aku ingin mengatakannya, tapi kalau ingat, aku cuma malah jadi beban buat diri sendiri dan orang lain!"

Iskandar ternganga. "Kamu kenapa?"

"Abi, aku ingin ...." Ray memukul dadanya. "Menikahi Arin. Secepatnya."

"Apa?!" Bukan Iskandar yang histeris, melainkan Siti.

"Emang kamu punya duit?" Itu Iskandar.

"Makanya itu, Bi!" Ray memijit keningnya. "Apa modalku? Enggak ada!"

"Kenapa tiba-tiba, Ray?" Siti yang sejak tadi menyapu rumah kini ikut duduk manis di kursi makan.

"Karena ... aku merasa berdosa."

Tak ada yang menyahut.

"Sejak malam itu, aku sudah berkali-kali hampir bablas, soal interaksi fisik. Aku ... menangkapnya ketika jatuh, hampir memeluknya, menggendongnya, memegangi tangannya yang diperban ...."

Terdengar helaan napas panjang dari Iskandar dan Siti.

"Abi paham," gumam Iskandar. "Mi, menurutmu gimana?"

Siti terlihat merenung. "Hari ini akan tiba, ya ...."

"Hari apa?" tanya Ray.

Siti menggeleng, lalu tersenyum. "Kami akan lihat apa ada jalan keluar buatmu yang masih miskin ini."

"Umi ...." Ray langsung memelas. "Umi tahu, Arin itu keluarga kaya ... bahkan aku sangat minder buat dekat dengannya. Tapi dia yang marah-marah, bilang enggak mau dianggap begitu ...."

"Iya, iya, Umi tahu."

Iskandar berdeham. "Sepertinya, itu pandangan keluarga ibumu ke Abi."

Siti langsung melirik Iskandar.

"Kamu mau menunggu, Ray?"

"Nunggu apa lagi?" Lama-lama, Ray sensitif dengan kata menunggu.

"Tunggu, biar kami bicarakan dulu dengan Mister."

"Oh, jalur orang tua ...." Ray memegangi kepalanya. "Aku merasa enggak becus jadi cowok."

"Siapa bilang?" Iskandar merangkul Ray. "Yang kamu lakukan selama ini apa?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang