Rumah Bukit

7 2 1
                                        

Ray remuk redam.

Itu memang hiperbolis, tetapi kenyataan pagi itu, Ray hampir tak bisa bangkit dari kasurnya. Meski begitu, ia tetap harus mengungsi dari kamarnya, karena atapnya hendak direnovasi.

"Bi, katanya, polisi mau datang nanti siang."

Iskandar sempat terperanjat, meski sedetik kemudian bahunya kembali melorot. "Oh. Kenapa?"

"Katanya, ada teror." Ray menyentuh keningnya sendiri. Agak hangat. "Semalam, aku pulang diantar. Ada bau kebakar."

Lagi, Iskandar tampak kaget. "Sepertinya begitu." Ia tampak menimbang-nimbang. "Ray, Abi enggak pengin mempekerjakanmu, tapi rasanya, ada hal yang harus dilakukan." Iskandar menghela napas. "Di sekitar bengkel, tadi Abi nemu ... bubuk mesiu."

"Bubuk mesiu?!"

"Abi kira, itu bekas-bekas petasan, tapi sepertinya lebih baru ...."

"Abi, semalam ada orang, kabur begitu kami datang." Ray merasa berat hati, tetapi ia harus menyampaikannya. "Aku diantar polisi, karena diminta ...."

Ingatan akan semalam terngiang. Ray tidak terlalu menangkap kata-kata Nuris dan Darto sebelum ia diantar pulang, tetapi kurang lebih intinya: Ray tidak seratus persen aman.

Iskandar menghela napas. "Abi akan menemui Mister nanti."

Seorang tukang datang dan membantu urusan atap. Ray pun terpaksa mondar-mandir, dibantu Siti. Pekerjaan itu selesai tepat ketika tiga orang tamu tiba: Nuris dan dua orang polisi.

Ray tak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia merasa sangat pusing hingga hanya bisa tiduran di kamarnya, dijagai Siti.

"Salam dari Arin," ujar Siti menyampaikan kabar dari Nuris. "Kata Mister, Arin masih sakit, tapi lainnya baik-baik saja."

Ray mengangguk.

"Beberapa minggu lagi, kamu tepat dua puluh tahun, anakku." Siti memijiti kepala Ray. "Apa kamu mau tahu satu fakta?"

"Hm?"

"Umi dan Bu Santika itu bersebelahan ketika mau melahirkan."

"Oh ... eh? Bu Santika?" Ray sampai terduduk, meski langsung ambruk lagi.

"Hei, pelan-pelan." Siti menyentil kening Ray pelan. "Ingat, Umi pernah bilang kalian kayak kembar? Karena, kalian memang kembar. Tanggal lahir kalian sama. Sudah lama Umi pengin bilang, tapi dulu kamu enggak kelihatan akrab sama Arin. Baru kemarin-kemarin saja."

"Tanggal lahir ... sama?" Ray merasa kebanjiran fakta.

Siti mengangguk. "Kamu hanya lebih tua dua jam. Kamu lahir dini hari, Arin tepat matahari terbit."

"Kok bisa sebelahan?"

"Tentu saja gara-gara para bapak itu. Umi juga heran. Laki-laki tuh, kalau ngide, suka unik." Siti menghela napas. "Katanya, biar ada teman ngobrol, berhubung di ruang bersalin waktu itu cuma berdua ... meski malah mereka yang asyik ngobrol sendiri." Siti angkat bahu sambil tersenyum tipis. "Kamu harus lihat gimana para bapak banding-bandingin bayi mereka, ibu-ibunya pasrah. Heh, kamu dibandingin sama Arin."

"Mereka bilang apa?"

"Enggak tahu." Siti kembali memijiti kening Ray. "Yang jelas, kami berdoa banyak untukmu, Ray. Melihatmu tumbuh sampai seperti ini, Umi tahu, kami enggak terlalu salah dalam mendidikmu."

Ray menatap langit-langit kamarnya. "Tapi, aku enggak punya teman sepermainan selama kecil ...."

Siti tersenyum. "Maaf. Masa kecil kurang bahagia, ya?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang