Malam yang Panjang

9 3 5
                                    

"Ini ... sebaiknya, kamu saja yang pegang."

Tangan Ray gemetar ketika Danang menyodorkan sesuatu. "Ini, hiasan kepala Arin ...."

Danang mengangguk. Ekspresinya benar-benar suram. "Hanya itu yang bisa kuberikan. Aku akan menyusul polisi, ke rumah Arin."

"Kamu sembunyi di mana dari tadi?"

Danang menunjuk ke sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka berdiri, di pinggir alun-alun. "Aku enggak mau ikut pemeriksaan sebelum kamu tiba. Aku tahu kamu pasti datang, Ray."

Sekujur tubuh Ray gemetar. Ia baru mendengar kesaksian Danang. Tadi, Arin tiba-tiba berlari menjauh, tampak mengejar sesuatu. Danang yang pertama tanggap. Ia langsung berlari menerobos orang-orang, tetapi kehilangan jejak. Padahal, malam itu tidak ramai, harusnya Arin mudah terlihat karena hiasan kepalanya yang mencolok di antara pakaian hitamnya. Hingga ia mendengar raungan anak kecil, barulah ia menemukan Arin ... sedang diseret dua orang. Seruan tunggu darinya tak diindahkan. Lantas, sebuah mobil SUV membawa Arin pergi entah ke mana. Danang gagal mengejar. Hanya bandana dan mouthpiece yang tertinggal.

"Aku, Eki, Darto, sudah berpencar ke segala penjuru, mencari mobil dengan ciri-ciri itu, sementara Agnes pulang diantar Randi," ucap Danang. "Dua jam sia-sia. Randi yang bergabung setelahnya juga enggak menemukan apa-apa. Dia dan Eki terpaksa pulang duluan karena besok ada urusan. Darto bilang bakal tetap di sini untuk menjadi saksi jika diperlukan. Dan aku ... aku sembunyi ...."

Ray teringat Indra yang menanyakan alamat rumah teman-temannya tadi. Sepertinya, Indra tidak harus melakukan hal itu.

"Kamu ... enggak ikut ke rumahnya?" tanya Danang pelan. "Bukannya kamu habis kerja bakti?"

Ray menggeleng. "Duluanlah. Aku akan mencarinya."

"Ray, aku mau tanya satu hal. Sebenarnya, hubunganmu dengan Arin itu apa?"

Ray diam saja. Ia juga tak tahu, tetapi ia tak menganggap pertanyaan itu penting sekarang.

"... Baiklah. Semoga ... semoga ketemu." Suara Danang gemetar saat mengatakannya. "Aku ... aku dan seluruh anggota Mededader akan bertanggung jawab, Ray ...."

"Bukan salah kalian," gumam Ray.

"Tapi ... harusnya, kami lebih awas ...."

"Pergi sekarang, sebelum kamu melihatku marah!"

Danang terkesiap. Ray tiba-tiba emosi, menatapnya dengan mata yang menyala-nyala. "Enggak usah bahas salah-salahan. Aku enggak peduli. Aku cuma mau dia selamat!"

Berikutnya, Ray sudah berlari, sesuai arah yang Danang beritahukan tadi. Ia tak mau memikirkan hal lain. Biarlah polisi, para pelayan, teman-temannya, mengurus urusan mereka. Ray punya urusannya sendiri.

Pasti Jim. Menebar petasan di atap rumah Ray, memecah perhatiannya, lantas menculik Arin ketika semua lengah.

Apa tujuannya?

Sepertinya, bukan kekayaan Nuris yang diincar. Seorang laki-laki antah berantah, penguntit, mengaku-ngaku bawa Arin adalah miliknya, bukankah itu hal yang patut dicurigai?

Sungguh, Ray ketakutan setengah mati. Ia berdoa supaya Arin selamat dari apa pun pikiran jahat penculiknya.

Sebenarnya, benar kata Iskandar. Ray sudah amat kelelahan. Apalagi tidak ada bus jam segini, ia berlari dari rumah, nyaris tanpa berhenti sampai ke alun-alun. Kini, langkahnya terasa begitu berat, seberat pikirannya. Ia sempoyongan, tetapi tak mau kalah. Digenggamnya bandana rajut berhias bunga merah milik Arin. Keberadaan benda itu yang memantik semangatnya kembali.

Karena nihil, Ray mencari pos polisi. Tampak dua orang berjaga, dengan walkie talkie yang berkemerusuk.

"Mobil SUV? Kasus sekarang?" Salah satunya bereaksi dengan pertanyaan Ray. "Itu sedang diselidiki, dicari oleh rekan saya yang lain. Kami berjaga di sini kalau ada petunjuk atau apa pun yang lewat sini."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang