Berdamai

8 2 7
                                        

"Kamu terpaksa."

Bisa Arin lihat ekspresi kaget Ray. Bahkan, lelaki itu sampai terjajar mundur.

"... Kenapa?" tanya Arin. Tangannya terangkat sia-sia.

"Kenapa ... kamu bilang aku terpaksa?"

Arin juga tidak tahu. Ia menunduk tanpa menjawab.

"Kalau kamu enggak mau menjawabnya ...."

Arin mengangkat wajah. "Ray. Bukannya aku enggak mau. Tapi ...."

Hampir Arin katakan, kalau kamu bisa membuktikan kalau kamu memang menyukaiku, tetapi ia urungkan. Itu berarti, Ray akan berkorban untuknya lagi. Menggendongnya dalam keadaan lelah sampai ke pos polisi, membiarkan dirinya muntah-muntah bahkan mengusap wajahnya yang coreng moreng, Arin butuh pembuktian apa lagi?

"Bukan soal itu." Ray berdeham. "Ada hal lain lagi. Kamu tahu siapa ... yang ... membawamu?"

Arin mengerjap beberapa saat. "Jim." Nama itu langsung meluncur.

"Jim," ulang Ray. "Benar dia."

"Kamu tahu namanya?"

"Ya. Dia sebut nama pas aku pergoki lagi buntutin aku." Ray mengepalkan tangan. "Aku sudah janji, Rin. Aku akan melindungimu dari penguntit itu. Enggak bisa ditawar, enggak peduli kamu merasa apa."

"Ray ...."

Ray menoleh ke Arin, lalu tersenyum. "Apa ada hal lain yang kamu inginkan?"

"Aku ...." Tiba-tiba saja, setetes air mata lolos dari mata Arin. "Aku ingin kembali ceria ... aku merasa kembali ke titik menyedihkan dulu, pas aku kehilangan ekspresi tanpa tahu penyebabnya ...."

"Bukankah katanya aku sudah membuatmu ceria?"

"Tapi, kenapa sekarang enggak?" Air mata Arin makin deras. "Ray, aku tahu, kamu suka melihatku ceria. Tapi, aku ... lagi enggak bisa ...." Ia terisak.

"Jangan dipaksakan." Ray kembali mendekat. Ia kini mengulurkan tangan. Arin menatapnya, penuh tanya.

"Kita enggak bakal sentuhan langsung, 'kan? Kamu sedang diperban."

"Oh." Arin mengulurkan tangannya perlahan. Ray meraihnya, lalu menggenggamnya.

Seketika, Arin ingat.

Malam itu, ketika adrenalin berikut kekuatannya surut, Arin merasa amat mengantuk, meski rasa sakit menahannya dari tidur. Selama di mobil polisi, ia duduk bersebelahan dan bersandar ke Ray. Saat itu, ia tahu, Ray menggenggam tangannya.

Lelaki itu memang tulus berniat menjaganya.

"Apa kamu merasa lebih baik?"

Arin mengangguk. Padahal, hanya genggaman belaka. Namun, ia bisa merasakannya.

Aman.

"Kalau saatnya tiba," ujar Ray, "aku akan menunjukkanmu keajaiban, ya. Sampai saat itu, jangan jatuh sakit, jangan sedih, dan cobalah untuk ceria. Cuma itu yang kuminta, Rin. Selama itu, kamu mau memintaku macam-macam, atau merepotkan, enggak papa. Asal, kamu jadi Arin yang kukenal."

DEG.

Sedikit demi sedikit, rasa panas naik ke wajah Arin. Ia tahu, itu rona. Darahnya kembali terpompa dengan normal. "Saatnya tiba, itu apa?"

Ray tersenyum. "Kejutan."

"Laaah?"

"Wah, Rin, kamu barusan bisa berekspresi."

"Hmph." Arin melepas genggaman Ray, lalu menutupi wajahnya. Kali ini, ia malu karena tertawa. "Makasih, Ray."

"Anything for you."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang