King menunggu. Aku dapat merasakan tatapan matanya kepadaku. Kugosok lenganku dengan keras, berharap tindakan itu akan mengurungkan niatku mencari kehangatan pada sumber terdekat. Percuma. Udara yang dingin mematahkan setiap usaha putus asaku.
"Jauhkan tanganmu dariku." Pada akhirnya, aku menyerah pada dorongan itu.
King mengangkat kedua tangan di sisi tubuh, memasang wajah sepolos bayi. "You're safe from me."
Aku beringsut mendekatinya, mengambil tempat di antara kedua lutut King yang menekuk terbuka. Punggungku menempel pada dadanya, menemukan kehangatan yang kucari. Aku bersyukur rambut panjangku menghalangi kulit kami bersentuhan langsung.
King menurunkan tangan, lalu mendaratkannya di bahuku yang terbuka. Aku tersentak, otomatis menoleh kepadanya.
"Kubilang...."
"Rileks. Aku hanya berusaha membantu."
Telapak tangan King bergerak turun, menyusuri lengan hingga ke jari-jariku yang membeku. Tanganku terlihat mungil dalam genggamannya. Dia mengusap pelan, meremas lembut jari-jari tersebut. Rasa hangat yang aneh menyebar ke seluruh tubuhku. Darahku berdesir. Wajahku terasa panas, sangat berbeda dengan bagian tubuhku yang lain.
"Bersandar saja. Kau akan merasa lebih nyaman," ujar King ketika merasakan bahuku yang tidak lagi kaku dalam penolakan. Aku tidak tahu apa yang membuatku menurutinya. Apakah suaranya yang lembut dan membujuk? Ataukah sentuhannya yang mengirim gelenyar aneh di bagian dalam perutku?
King benar. Rasanya lebih nyaman saat aku menyandarkan punggung ke dada lebarnya. Lengan King memelukku erat dari belakang, masih tanpa menghentikan usapannya di jari-jariku. Hangat. Dekapannya membuatku merasa aman dan hangat.
"Kenapa kau lari?" Pertanyaan King memecah kesunyian yang hanya diwarnai oleh suara hujan di luar sana.
"Lari?" Aku balik bertanya dengan bingung, terlalu nyaman berada dalam pelukannya.
"Tadi. Kau sedang mengobrol bersama Kelly dan Lawrence saat tiba-tiba saja kau lari masuk ke dalam hutan. Kami semua panik dan berusaha menyusul, tapi kau melesat seperti rusa yang ketakutan." King menjalinkan jemarinya dengan milikku, tidak lagi mengelus. Hanya menggenggamnya erat-erat.
Kepalaku tertunduk. Terlalu malu untuk mengakui penyebabnya. Namun, tidak ada tempat untuk lari dan aku yakin King tidak akan berhenti mencari tahu. "Karena Lawrence bilang ... kau ... sudah lama tertarik kepadaku."
Tubuh King menegang. Aku dapat merasakan otot-ototnya yang kaku karena dia masih memelukku.
"Dia bilang, ya? Dan kau kabur ketakutan setelah mendengarnya."
Aku menoleh begitu mendengar nada tajam King. Dia kesal. Karena aku menganggap fakta dia menyukaiku adalah hal yang cukup menakutkan.
"Kau menciumku saat kita baru bertemu. Setelah tahu bahwa kau menyukaiku sejak lama, kau pikir aku akan merasa aman tidur satu tenda denganmu?"
Pertanyaanku tepat sasaran. King memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya. Well, aku tidak mengira King bisa merona. Kupikir dengan tubuh dan tampang seperti miliknya, dialah yang membuat para gadis tersipu. Bukan sebaliknya.
"I'm sorry." King terdengar tulus saat mengatakannya meski masih tidak mau menatapku. "Aku ... terlalu lama menantikan ini."