"No way. Kau tidak mungkin serius." Kelly masih menatapku dengan tidak yakin.
"Kau kira aku mengada-ada? He kissed me!" Tak bisa kupercaya dia mengira aku berbohong. Lagi pula, apa untungnya bagiku?
"Wait. Lawrence, come here!" Kelly memanggil Lawrence yang tengah melemparkan kayu ke dalam api unggun bersama King. Meski heran, pria itu menghampiri kami yang duduk agak jauh.
"King menciumnya." Kelly langsung melontarkan kalimat itu begitu Lawrence telah ikut duduk. Pria itu bereaksi persis seperti Kelly. "No way."
Aku memutar bola mata dengan jengkel. "Great. Sekarang kalian berdua sama-sama menganggapku pembohong."
"Bukan begitu."
"Lalu apa? Dia yang bertindak kurang ajar, tapi aku yang mendapat tatapan menghakimi dari kalian berdua."
Kelly dan Lawrence saling tatap, lalu keduanya kompak mengalihkan pandangan kepada King yang masih sibuk mengobarkan api unggun kami.
"King? Kurang ajar? Apa kita membicarakan orang yang sama?" Lawrence masih berusaha meyakinkan bahwa dia mendengar ceritaku dengan benar.
"Kenapa sulit sekali bagimu untuk percaya? Memangnya dia siapa? Biksu?" semburku dengan kekesalan yang sama sekali tidak ditutup-tutupi.
Mereka berdua sama-sama tergelak, sampai akhirnya Lawrence yang menjawabku. "King selalu sulit didekati. Kalau dia menciummu, berarti dia sangat menyukaimu. Sudah lama dia tertarik pada seorang gadis yang jadi pelanggan coffee shop tempat dia bekerja paruh waktu. Tapi King tidak pernah melakukan pendekatan. Lucu sekali, kan? Padahal kalau dia mau, sangat mudah membuat gadis itu tertarik kepadanya. That's why I ask him to come with us. Dia harus mulai melupakan gadis itu atau dia akan tetap mendapat julukan Mr. Hard to Get. King bersedia asal kau juga ikut dengan kami. Omong-omong, bagaimana kalian berdua bisa saling mengenal?"
Lawrence masih menatapku dengan penasaran, sementara wajah Kelly berubah seperti seorang detektif yang baru saja memecahkan sebuah kasus. "King kerja di coffee shop dekat kampus kita, kan? Arianna, bukankah kau pelanggan tetap di situ?"
Mereka berdua sama-sama memandangku dengan terkejut, lalu menyerukan kalimat yang sama untuk kesekian kalinya. "No way!"
Seruan keras itu mengundang perhatian Ted dan Joanna yang sedang bercumbu. Bahkan King ikut menoleh ke arah kami. Aku membuang muka saat tatapan kami bertemu. Namun, keantusiasan yang ditunjukkan oleh Kelly dan Lawrence, segera membuatku kembali mengabaikan King.
"Jadi, kau orangnya! Pantas saja King bersikeras kau harus ikut." Lawrence menimpali dengan bersemangat. "You know what? He is crazy about you."
"This is good, Arianna. Pacar seperti King?! Kau harus memamerkannya ke seluruh kampus!" Kelly tidak kalah antusias dengan pacarnya. Sementara aku menatap mereka berdua dengan ngeri. Mereka pasti sudah sinting kalau berpikir aku mau tidur satu tenda dengan orang yang 'tergila-gila' kepadaku. Dan tindakan King yang menciumku tadi sore, sama sekali tidak membantu mengurangi ketakutanku padanya. Ya, aku takut. Kalau King berniat macam-macam denganku, maka tidak ada yang dapat kulakukan untuk mencegahnya. Jelas aku tidak akan menang melawannya.
Jadi, aku berdiri dengan mendadak, lalu mulai berlari ke arah hutan yang gelap. Mengabaikan teriakan-teriakan di belakangku.
***
Aku bertindak bodoh. Seharusnya aku menolak ajakan camping ini sejak awal. Seharusnya aku angkat kaki selagi ada kesempatan. Seharusnya aku tidak berlari ke dalam hutan sendirian, dengan kemampuan bertahan hidup di alam bebas yang mendekati nol. Aku tersesat. Untuk ukuran gadis dengan kaki pendek sepertiku, kecepatan lariku cukup mengagumkan. Sudah sejak tadi aku tidak mendengar teriakan yang memanggil namaku. Dan sudah sejak tadi juga aku tidak mendengar suara manusia. Satu pun. Hanya binatang malam yang bersahutan di hutan yang gelap.
"Hello? Somebody? Kelly? Joanna? Lawrence? Ted?"
Untuk kesekian kali, aku memanggil nama-nama itu. Tidak ada seorang pun yang menyahut. Kuketatkan pelukan di seluruh tubuh. Berusaha memberi kehangatan pada diriku yang hanya mengenakan celana jeans selutut dan T-Shirt lengan pendek.
Terdengar suara gemeretak pelan. Aku tidak yakin siapa yang menimbulkannya. Diriku atau orang lain yang kuharap sedang mencariku. Aku mengedarkan pandangan dengan kalut, berusaha melihat menembus kegelapan pekat di sekeliling. Suara itu kembali terdengar, yang kemudian diikuti oleh cahaya samar dari senter yang menyorot pada kegelapan di sekitarku.
"Aku di sini!" Aku berseru lega begitu menyadari bahwa yang datang adalah seseorang, bukan binatang malam yang sedang mengendap.
"Arianna?"
Langkahku yang sedang menuju sumber suara langsung terhenti begitu aku menyadari siapa yang datang. "King?"
"Arianna!"
Derap kakinya terdengar cepat menghampiriku. Alih-alih bergerak mendekat, aku makin mundur ke dalam kegelapan hingga akhirnya cahaya senter itu menyorot wajahku.
"Thank God." Aku dapat melihat raut penuh kelegaan King saat akhirnya dia menemukanku. Kusipitkan mata karena cahaya menyilaukan yang masih dia tujukan padaku. King menurunkan senternya, mengambil langkah demi langkah untuk mendekat.
"Diam di tempatmu, King!"
Seketika, dia menghentikan langkah. "Apa maksudmu?"
"Panggilkan yang lain. Aku tidak mau kembali ke tenda bersamamu," kataku bersikeras. King menatapku heran, kemudian memilih untuk mengabaikan permintaanku dan kembali melangkah. "Kubilang berhenti!"
"Don't be stupid, Arianna. I'm not gonna hurt you."
Aku terus bergerak mundur seiring dengan setiap langkah yang dia ambil. Benar-benar menolak berdekatan dengannya.
"I'm not comfortable being around you. So, step back."
"Watch your step. There is ... ARIANNA!"
Peringatannya datang terlambat. Aku kehilangan pijakan pada langkah terakhir yang kuambil. Kurasakan tubuhku terjun bebas. Ditelan oleh kegelapan tanpa batas.
***
