Mia meringkuk di atas tempat tidur sambil memegangi perutnya yang nyeri. Sekarang dia tahu alasan dari ledakan emosinya pada Thomas semalam. Selain berita buruk yang pria itu berikan, dia menstruasi. Hormonnya sedang berada pada puncak tertinggi. Mungkin itu juga yang membuat dirinya jadi bernafsu pada cumbuan Thomas. Ya. Pasti itu alasannya.
Ketukan di pintu kamar mengejutkannya. Gadis itu mengerang pelan. Dia sedang tidak ingin diganggu. Tidur seharian hingga kram perutnya reda, itulah yang dia butuhkan. Jadi Mia mengabaikan ketukan itu dan kembali bergelung sambil memejamkan mata.
"Open the door, Pumpkin."
Mata Mia terbuka lebar. Degup jantungnya menjadi lebih cepat. Ingatan tentang bibir pria itu membuat matanya kembali terpejam. Berusaha menghilangkan memori tentang kejadian semalam. Dia menutup telinga dengan kedua tangan, menulikan diri dari panggilan Thomas.
"I've given you all night to think. I think we're ready to talk now."
Mia mengatupkan rahang kuat-kuat. Menolak untuk bicara dengan pria itu. Dia berharap Thomas akan segera pergi jika dia mengabaikannya. Dugaan yang sangat salah. Seharusnya Mia mengenal pria itu lebih baik.
"I'll count to 10, then I'll kick this door open if necessary."
Kalimat Thomas sukses membuat Mia bangun. Pria itu tidak mungkin serius dengan ucapannya. Namun Mia tahu bahwa fatal akibatnya jika meragukan ucapan Thomas. Gadis itu bergerak secepat mungkin ke arah pintu, mengayunnya terbuka sebelum Thomas melaksanakan ancamannya.
"Mau apa?!" bentak Mia ketika mereka telah berhadapan. Dia berusaha mengabaikan nyeri di perut bagian bawahnya, seakan ada seseorang yang meremasnya. Thomas berdiri menjulang hingga gadis itu harus mendongakkan kepala agar tatapan mereka bertemu.
"Talk." Hanya itu jawaban singkat Thomas.
"Kita sudah selesai bicara! Dan aku tidak mau lagi berhubungan dengan orang yang kubenci!"
"Drop it, Mia." Thomas memutar bola matanya jengkel. "We know that's not what you feel. You are far too responsive to my touch for someone who hates me."
Kesal, malu, marah, geram. Semua perasaan itu campur aduk menjadi satu dalam diri Mia. Dan makin diperburuk oleh badai hormon yang tengah dia alami.
"Can we just talk without shouting at each other?" Thomas menghela napas lelah. "I want our relationship to work."
Didorong oleh keinginan untuk menumpahkan berbagai emosi di dalam dirinya, Mia merangsek maju ke arah Thomas. Menekan dada pria itu dengan jari telunjuknya.
"Jadi sekarang kita memiliki hubungan?! Setelah bertahun-tahun kau memperlakukanku sebagai mainanmu, kau berharap semua akan berubah dalam sekejap? Hanya karena... karena... karena kau bilang bahwa kita bertunangan! Untuk catatan Thomas, aku tidak pernah percaya maupun menganggap serius perkataanmu. Sama seperti kau tidak pernah menganggap serius diriku!"
Mia terengah di tempatnya berdiri. Keringat dingin menuruni pelipis gadis itu setelah luapan emosinya. Kepalanya terasa pening, tapi dia berusaha tetap menegakkan tubuhnya. Thomas masih menatapnya tanpa kata. Sorot mata pria itu diwarnai oleh sesuatu yang menakutkan. Seperti langit tenang sebelum badai. Dia meraih pergelangan tangan Mia, lalu menarik gadis itu pergi bersamanya.
"Mau ke mana?" tanya Mia panik ketika Thomas praktis menyeretnya di sepanjang koridor.
"You still don't believe me, hah? I'll take you to someone you'll trust." Thomas tidak melonggarkan cekalannya pada gadis itu. Ataupun memperlambat langkahnya. Mereka menuruni tangga dengan cepat, sementara Mia masih berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Thomas.