Hazel tidak pergi. Dia berdiri mematung di depan kamar Ace, mendengarkan teriakan demi teriakan yang dikeluarkan pria itu sejak tadi. Hazel gemetar. Wajah gadis itu hampir sepucat rambut pirangnya. Namun, dia tetap teguh di tempatnya. Dia tidak akan meninggalkan Ace. Tidak peduli meski pria itu tidak menginginkannya.
"Ace, let me in." Hazel mencoba sekali lagi. Mengetukkan buku jarinya yang bergetar pada permukaan kayu di hadapannya.
"LEAVE!"
Gadis itu kembali menerima jawaban yang sama. Mendapati perubahan suara Ace yang menjadi makin kasar dan berat setiap waktunya. Tidak lagi seperti suara manusia. Ace mulai berubah. Dan proses tersebut membuat pria itu sangat kesakitan. Hazel tidak pernah tahu bagaimana rasanya. Namun, dia dapat membayangkan dari cerita yang sering dia dengar. Cerita yang dia dapatkan dari kedua orangtuanya sendiri.
Objek pikirannya muncul bersamaan. Kedua orangtuanya nyaris berlari saat menghampirinya. Hazel hampir menangis saat melihat mereka. Hingga dia sadar bahwa ternyata air matanya benar-benar menetes.
"He won't let me in."
"No, Honey. You can't get in." Eva Foster meraih Hazel, membawa gadis itu menjauh dari daun pintu serta teriakan kesakitan di baliknya. "Aku dan ayahmu yang akan mengurus Ace. Kau tidak boleh dekat-dekat dengannya. Dia belum stabil. Kau telah melakukan hal yang benar dengan menghubungi kami."
Hazel mengangguk. Meski dalam hati dia sedih karena tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolong Ace.
Eva meninggalkan Hazel untuk membantu suaminya yang kini telah siap memutar kenop pintu. "Ace, aku akan masuk." Suara Chase Foster terdengar tenang walaupun ketegangan membuat kaku seluruh otot wajahnya.
"JAUHKAN HAZEL!" Raungan Ace kembali terdengar. Menggetarkan dinding rumah mereka oleh suara keras tersebut.
"Dia tidak ada di sini. Hanya ada aku dan ibumu."
Hening untuk sesaat, kemudian raungan tersiksa itu bergaung untuk kesekian kali. Hazel tersentak. Isak tertahan meluncur dari bibirnya. Dia menyayangi Ace. Melihat kakaknya kesakitan seorang diri, sungguh menghancurkan hati gadis itu.
Chase membuka pintu, masuk ke kamar dengan Eva yang mengikuti dari belakang. Bunyi benda yang saling menubruk terdengar berkali-kali, lalu keheningan kembali menyelimuti. Hazel menunggu dari tempatnya berdiri, menatap pintu kamar Ace yang terbuka dengan kecemasan menggunung. Akhirnya, dia melihat pria itu keluar. Yang pertama kali Hazel lihat adalah perubahan Ace yang mengejutkan. Kedua telinga Ace berubah runcing, ditumbuhi bulu yang berwarna sama dengan rambut pria itu. Bulu yang serupa menghiasi seluruh wajah Ace juga sebagian tubuhnya. Hidungnya mencuat ke depan, nyaris menyerupai moncong. Otot-otot di tubuh Ace terlihat jauh lebih besar dari sebelumnya, hingga T-Shirt pria itu robek di mana-mana dan hampir tidak berbentuk. Perubahan Ace belum selesai. Pria itu masih bisa berdiri dengan kedua kakinya, meski Chase dan Eva harus menopang tubuhnya yang kini setengah sadar.
"To the forest." Chase memerintah dengan tegang. "He is shifting. Kita tidak akan bisa menahannya di sini saat perubahannya sudah sempurna."
Eva menganggukkan kepala, menopang sebagian tubuh Ace menggunakan berat badannya. Dia memandang Hazel yang masih tidak bergerak dari tempatnya untuk menjaga jarak aman. "Kau bisa di rumah sendiri, kan?"
Hazel mengangguk, menyatukan kedua tangan untuk meredakan getarannya. "Apakah dia akan baik-baik saja?"
Eva tersenyum menenangkan, meski Hazel dapat melihat keresahan yang berusaha ibunya sembunyikan. "Dia akan melewati semua ini. Tidak usah cemas."