X (2)

498 50 2
                                    

"Kau penulis di kantor penerbitanku. Tentu saja aku harus memanggilmu dengan sebutan... "

"You can't be serious." Rafe melempar kedua tangan ke udara, tertawa sinis.

Seketika, aku tahu bahwa dugaanku salah. Rafe tidak pernah lupa padaku. "You still remember me?"

Tawa Rafe terhenti. Kelopak matanya membulat terkejut. "Kenapa kau pikir aku mengundangmu masuk? You think I do that to any random girl?"

"I think you are."

Menilai perubahan ekspresi Rafe, jawabanku jelas tidak membuatnya senang. "So, that's how you see me. Padahal kita sudah pacaran cukup lama... "

"What are you talking about? Kita sudah putus."

Lagi-lagi, raut wajah Rafe memberiku petunjuk tentang suasana hatinya. Dia marah. Tidak. Dia lebih dari sekadar marah.

"Kita belum putus." Rafe mendesis tajam. Tatapannya menusuk bagai anak panah. Aku mundur lebih jauh, tapi dia juga tak berhenti mendesakku. Membiarkan diriku terjebak antara dinding dan tubuhnya.

Kutelan ludah keras. Balas menatapnya dengan berani. Atau setidaknya, aku berusaha tampak cukup berani meski bulu kudukku telah berdiri sejak tadi. Pria yang ada di hadapanku bukan Rafe yang pernah kukenal. Dia tak lagi hangat dan manis. Ada emosi berbahaya di balik raut dingin yang kini menghunjamku.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"I can do anything to my girlfriend."

"I said we broke up... "

"We never broke up!"

Aku terperanjat saat mendengar teriakannya. Untuk pertama kali selama mengenal Rafe, dia membuatku takut. Sedetik kemudian, ketakutanku terbukti. Aku menjerit ketika pijakanku hilang mendadak. Pemandangan wajah Rafe kini berganti dengan punggung lebarnya. Panik, kupukulkan kepalan tangan bertubi-tubi. Berharap dia akan menurunkanku dan bukannya membawaku ke tempat tidur.

Tubuhku terpelanting begitu Rafe melemparku ke atas ranjang. Aku buru-buru membenahi jubah mandiku yang terbuka karena tindakannya. Menghalangi Rafe dari pemandangan tubuh polosku yang sempat tertangkap matanya. Ini tidak bagus.

"If you gonna rape me, I'll sue you," ancamku. Meski merasa sangat ketakutan, aku tidak akan membiarkannya menyentuhku. Tidak lagi.

Rafe diam tak bergerak. Entah karena gentar oleh ancamanku, atau karena dia suka memelototiku.

"Why did you leave me?"

Pertanyaannya masih terdengar tajam. Namun, aku mendeteksi rasa sakit hati di baliknya. Luka yang tidak ingin dia tunjukkan. Luka yang dia tutupi oleh amarah. Rafe tidak akan mengelabuiku lagi. Dia bukan korban. Akulah korban sebenarnya dari hubungan kami dulu. Rafe tidak berhak bersikap seakan aku telah menyakitinya. Dia yang menorehkan trauma itu padaku. Membuatku tak lagi percaya pria lain setelah pengkhianatannya. Dia telah merenggut 5 tahun terakhir hidupku meski tanpa kehadirannya.

Amarah menguasaiku jika mengingat hal-hal yang telah Rafe lakukan. Kepercayaan yang telah dia khianati. Betapa hancurnya diriku dulu. Segala emosi tersebut memberiku kekuatan. Membuatku berani menghadapnya. Kuhela tubuh bangkit, merangsek maju ke arah Rafe yang bersedekap sambil melihatku hati-hati.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang