Sentuhan itu lembut, menjalar dari kening serta alis yang melengkung. Tangan yang membelaiku agak kasar meski bergerak seringan bulu. Tangan itu mengelus kelopak mataku yang tertutup, turun ke arah pipi dan menuju ke bibir. Berlama-lama di permukaan kenyal tersebut. Sentuhannya berpindah ke rahang, membelai di sepanjang garisnya kemudian beralih ke leher. Nadiku yang berdenyut lambat tidak lolos dari perhatiannya. Ibu jari yang kuat mengusap pelan sebelum meraba tonjolan tegas tulang selangkaku. Tidak lama, tangan itu bergerak makin ke bawah, meraba renda gaun tidur di sepanjang dada, menggoda belahan yang berada di antaranya. Usapan itu terasa ringan. Menyapu sekilas seakan bermain-main.
Rasa dingin menerpa kulit saat kurasakan selimutku tersingkir. Salah satu tangan itu bergerak di atas pahaku yang masih tertutup gaun tidur. Perlahan, bahan halus itu terangkat saat kurasakan penjelajahannya yang makin berani. Aku menggeliat. Gelisah. Belaiannya di pahaku menyasar makin ke dalam. Embusan napas berat dan panas menerpa wajahku. Cepat, tapi terkendali.
Lalu suara itu menelusup di tengah kesunyian dan kabut mimpiku. Rendah. Berbahaya. Dan syarat akan janji.
"Dragul meu.*"
Aku tersentak bangun. Tubuhku berkeringat. Kuedarkan pandangan pada keadaan di sekitarku. Hari sudah terang. Itulah hal pertama yang kusadari. Kubawa diriku duduk dengan cepat, mendadak merasakan keinginan untuk memeluk diri sendiri. Selimut yang menyelimutiku telah lenyap, teronggok di tepi ranjang.
Mimpi. Mimpi yang sungguh erotis. Bagaimana bisa aku mengalami mimpi seperti itu di malam pertama aku tidur di sini? Tidak ada apa pun yang dapat memicunya. Jelas sekali hal yang kualami sebelum ini juga tidak akan memunculkan ide erotis apa pun di dalam kepala. Bahkan mimpi yang harusnya muncul adalah tentang pembunuhan dan mutilasi dari seseorang yang kubenci. Namun, mimpi yang kualami jauh dari itu semua.
Aku memeluk diriku lebih erat, mencegah getaran yang muncul. Ini sungguh konyol. Kau sangat konyol, Grace. Ketakutan yang kualami tidak beralasan. Lagi pula, tidak ada yang menakutkan dari mimpi tersebut. Kecuali suara itu. Aku bergidik. Teringat dengan jelas suara bariton rendah yang muncul dalam mimpiku. Dragul meu. Bahasa Rumaniaku memang hanya sebatas sapaan dan salam, tapi aku tahu arti dari kalimat itu. Sayangku. Aku kembali bergidik. Karena panggilan dalam mimpiku sama sekali tidak terkesan romantis, lebih mirip tanda kepemilikan.
Kembali kuejek ketakutanku yang berlebihan. Itu hanya mimpi. Berhentilah berpikir paranoid. Aku turun dari tempat tidur, bergerak cepat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Bola mata abu-abuku menatap balik dari cermin besar di atas wastafel. Lupakan, Grace. Mimpi hanyalah mimpi. Tidak berarti.
Waktu di ponselku telah menunjukkan pukul 9 pagi. Badanku masih pegal di beberapa tempat, seakan aku belum mendapat tidur yang cukup. Kuputuskan akan sarapan di dalam kamar dan menelepon resepsionis agar sarapan diantar. Tidak perlu menunggu lama hingga aku mendengar ketukan di pintu. Seorang pelayan laki-laki mengantarkan senampan penuh berbagai jenis menu sarapan. Ada roti panggang, telur orak-arik, bacon, pancake yang dilumuri butter serta maple syrup, juga segelas besar jus jeruk.
"American breakfast for American Lady," ucapnya dengan senyum ramah.
Well, aku tidak menduga bahwa mereka akan mempertimbangkan seleraku. Lidahku memang belum terbiasa dengan makanan Rumania, jadi aku cukup bersyukur pihak hotel menyediakan sarapan yang familiar dengan diriku. Tanganku terulur untuk memberikan tip pada pelayan tersebut, tapi dia menolak dengan halus.
"Kami dilarang menerima tip dari para tamu. Selamat menikmati sarapan Anda, Nona."
Satu lagi keanehan yang kutemui di hotel ini, tapi aku membiarkannya berlalu. Setelah satu suapan dari pancake lembut dan hangat, aku baru menyadari bahwa aku kelaparan. Tidak ada yang tersisa di nampan tersebut setelah aku menghabiskannya dengan cepat. Mataku mengerling ke sekeliling ruangan, kemudian lukisan besar itu kembali menarik perhatianku. Aku mengamati kedua orang yang berada di dalamnya. Sungguh cantik dan tampan. Dan setelah beberapa lama pengamatan, kuputuskan bahwa wanita dalam lukisan itu tidak ada mirip-miripnya denganku. Aku tidak secantik itu.
Aku membuka lemari dan merogoh ke dalam ransel untuk mencari peta, serta daftar tempat tujuan yang telah kubuat selama di sini. Meski tubuhku masih kurang fit, berdiam diri di kamar bukanlah pilihan kalau aku ingin melupakan masalahku. Seakan itu adalah hal yang mudah, rutukku dalam hati. Ateneul Roman. Kuputuskan itu akan menjadi tempat tujuanku hari ini. Berjalan-jalan sambil mengambil beberapa gambar. Selanjutnya akan kupikirkan nanti. Dengan tekad tersebut, aku memanggul tas ransel dan berjalan keluar kamar.
***
Hari baru saja berganti malam saat aku menginjakkan kaki kembali di hotel. Ternyata, tubuhku yang letih tidak bisa diajak kompromi. Aku hanya mengunjungi satu tempat dan menghabiskan sore di cafe terdekat sebelum keinginan untuk beristirahat terasa begitu mendesak.
Kusapa resepsionis dengan senyum begitu masuk. Senyum formal wanita itu kembali menyambutku. Aku tidak mengetahui namanya, jadi kali ini aku menyempatkan diri untuk melirik name tag di dadanya. Delia Ionescu. Baru kusadari bahwa hotel ini tidak memiliki banyak staf. Wanita bernama Delia itu adalah satu-satunya orang yang kulihat di meja resepsionis. Pelayan yang lalu lalang pun tidak banyak. Begitu pula pengunjung yang kutemui.
Aku mengernyit heran. Saat aku masuk, Delia mengatakan bahwa kamar yang tersisa hanya tinggal satu. Namun, melihat pengunjung yang sangat sedikit, hal tersebut tentu cukup janggal. Lagi-lagi, aku memilih untuk mengabaikannya. Aku terlalu lelah hingga satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah kembali ke kamarku.
Kutanggalkan pakaian dan masuk ke bawah pancuran sesaat setelah menginjakkan kaki di dalam kamar. Air yang hangat seakan memijat otot-ototku yang pegal. Menenangkan saraf-sarafku. Mataku terpejam nikmat. Aku berbalik untuk mengambil sabun, lalu sekelebat bayangan dari balik pintu kamar mandi membuatku terperanjat.
Aku mengerjapkan mata, berusaha melihat dari tirai air yang mengaburkan pandangan. Kumatikan shower, melilitkan handuk dan membuka pintu kamar mandi secara mendadak. Tidak ada siapa-siapa. Kamar ini masih sesunyi saat aku datang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain selain diriku.
Pasti karena lelah, putusku saat kembali menutup pintu. Kulanjutkan kegiatan mandiku tanpa rasa khawatir lagi.
***
Mataku belum terpejam meski kantuk telah menyerang. Aku sedang menyiksa diri. Menatap foto-foto yang belum juga kuhapus dari gallery ponsel. Bill dan aku tampak bahagia sebelum semua ini terjadi. Sebelum pengkhianatan menyakitkan yang dia lakukan setelah empat tahun hubungan kami. Kukerjapkan mata berkali-kali saat kurasakan sengatan rasa panas itu kembali. Mengancam air mata keluar untuk membasahi bantal tempatku berbaring. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain memandangi foto-foto itu. Sinyal yang buruk di tempat ini mencegahku untuk berselancar di dunia maya. Atau membuka media sosial apa pun.
Bagus untukmu, Grace. Lagi-lagi, terdengar suara hatiku yang memarahi diri sendiri. Dia tidak pantas mendapat air matamu. Pria yang memutuskan untuk meniduri pelacur hanya karena kau tidak bersedia tidur dengannya sebelum menikah.
Aku tahu aku terdengar kolot, tapi kedua orangtuaku yang mengajari hal tersebut sejak dulu. Dan aku tidak suka menentang mereka. Demi Bill sekalipun. Dengan pemikiran itu, aku menghapus foto-foto kami dengan geram. Namun, masih menyisakan satu sebagai kenangan. Satu foto tidak akan menyakitimu, harapku.
Aku membersit hidung, meletakkan ponsel di atas nakas ketika aroma itu menggelitik lubang hidungku. Lavender. Sama seperti semalam. Dari mana aroma ini berasal? Apakah hotel ini di-setting untuk mengeluarkan aroma tertentu di malam hari? Mungkin dari lubang angin, tebakku saat melihat beberapa celah ventilasi di sekeliling kamar. Trik yang bagus dan aku tidak keberatan. Aroma itu menyenangkan dan membuat mataku semakin berat. Hingga akhirnya, aku menyerah pada rasa kantuk. Kelopak mataku terasa berat meski tubuhku bagai melayang karena aroma tersebut. Lalu mimpi itu datang lagi.
***