"Carol."
Aku menggeliat ketika seseorang mengguncang bahuku pelan. Mata abu-abu Daryl bertemu dengan pandangan mengantukku.
"Jam berapa ini?" tanyaku dengan suara serak seraya merubah posisiku menjadi duduk di sofa.
"Jam 10. Kau sudah makan?" tanyanya. Daryl masih mengenakan T-Shirt 7-Eleven tempat dia bekerja dan membawa sebuah bungkusan di tangannya.
"Aku tidak terlalu lapar," jawabku sambil menguap.
"Makan." Dia berkata tegas dan mengeluarkan isi bungkusan itu, yang ternyata berisi pasta dan beberapa kudapan. Seketika perutku terasa lapar melihat berbagai macam makanan di depan mataku. Aku membuka bungkusan pasta dan mulai menyantapnya. Daryl meninggalkanku yang tengah makan dan masuk menuju kamarnya. Tidak lama kemudian dia keluar mengenakan T-Shirt tanpa lengan dan celana pendek selutut.
"Enak?" tanyanya seraya mengambil tempat di sebelahku. Dia meraih sebuah apple strudel dan ikut makan bersamaku. Aku menjawabnya dengan anggukan karena mulut penuhku. "Jangan belajar terlalu keras," ujarnya dengan nada memperingatkan saat melihat tumpukan buku di sofa.
"Aku agak lambat dalam beradaptasi, jadi aku memang harus berusaha lebih keras daripada orang lain."
"You're doing fine. Masalahmu hanya kekhawatiran yang berlebihan."
"Kau tidak mengenalku." Aku berkata defensif.
Daryl mengangkat sebelah alis mendengar nada suaraku. "No offense. Aku hanya ingin kau lebih percaya diri."
Aku melunak saat menyadari maksudnya. Karena tidak dapat kupungkiri bahwa kata-kata Daryl ada benarnya. Rasa percaya diri selalu menjadi masalah terbesarku.
"Sorry."
"Don't be. Kau benar. Aku adalah bajingan sok tahu. Tapi segalanya akan segera berubah setelah kita saling mengenal dengan lebih baik."
Daryl mengatakannya sambil terkekeh. Itulah yang kusuka dari dirinya. Tidak ada sentimen dan memberi kritik yang berguna. Kami sedang menonton acara kuis di televisi saat aku mengernyit sambil menggosok tengkukku.
"Ada apa?" tanyanya seraya mengalihkan pandangan dari layar televisi.
"Tidak apa-apa. Pasti karena posisi tidurku tadi." Kuperingatkan diriku sendiri agar tidak lagi ketiduran di sofa. Nyeri otot ini akan bertahan cukup lama hanya karena beberapa menit tidur dalam posisi yang salah.
"Kemari." Daryl menyilangkan kedua kaki di atas sofa, kemudian menghadap ke arahku. Aku menatapnya ragu. "Ayolah. Aku bisa membuatnya menjadi lebih baik."
Perlu beberapa pertimbangan sebelum akhirnya aku duduk membelakanginya dan menyampirkan rambutku ke sebelah bahu. Sebenarnya aku merasa agak canggung karena membiarkan Daryl memijat bahuku. Ada sedikit rasa penyesalan karena aku hanya mengenakan tanktop di atas celana piamaku. Sentuhannya terasa hangat di atas kulit telanjangku. Aku berusaha agar tidak gugup. Tidak pernah ada pria yang dekat denganku sehingga bisa menyentuhku seperti ini. Kurasa Daryl bisa menjadi pengecualian. Well... dia bukan pria 'normal', jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.
"Aw!" Aku berseru kesakitan saat pijatan Daryl mengenai ototku yang kaku.
"Ternyata di situ masalahnya. Santai, girl. Tahan sedikit."
Akhirnya setelah beberapa pijatan darinya dan rengekan memalukan dariku, harus kuakui bahwa nyeri di leherku sudah banyak berkurang.
"Kau benar. Rasanya jauh lebih baik sekarang." Aku duduk menghadapnya dan berkata gembira. Kulihat Daryl yang tersenyum senang melihat wajah puasku. Tiba-tiba, tangannya meraih rambutku yang tengah tersampir di bahu. Dia merabanya pelan, merasakan teksturnya yang halus di antara jemari panjangnya. Pandanganku seakan terhipnotis pada jari-jari itu. Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Tindakannya terasa sangat intim bagiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/349391468-288-k741841.jpg)