Ketukan keras di pintu membuat Raymond menghentikan pekerjaannya. Dia meletakkan pena, memberi perintah dengan suara datar.
"Masuk."
Maggie melangkah ke dalam, berwajah cemas. Sebelum wanita itu sempat bicara, Raymond mendahului untuk bertanya.
"Is it time?"
Maggie mengangguk. "Saya sudah memanggil dokter."
Raymond terdiam. Mengepalkan tangan erat. Dia memejamkan mata sejenak sebelum membuat keputusan. "Siapkan kudaku."
"Tapi, saya sudah memanggil... "
"Kuda."
Wanita itu tak lagi bicara, menundukkan kepala dan berlalu pergi. Maggie mengira waktu 9 bulan bisa mengubah pikiran Raymond. Namun ternyata, dugaannya salah besar. Dia memanggil salah satu penjaga, meneruskan perintah Raymond sebelum kembali ke kamar tempat Cattleya berada.
Raymond meraih jasnya, mengenakan di atas rompi dan kemeja. Cattleya pasti mengerti. Sejak awal, Raymond telah menekankan bahwa dia tidak akan bisa bersama gadis itu saat kelahiran ini terjadi. Hampir 9 bulan dia menahan diri melihat gadis itu semakin lemah setiap waktunya. Berwajah pucat, dengan perut membesar dan gerakan yang semakin lama semakin lambat. Namun, gadis itu masih bisa terlihat lebih bahagia meski kondisi tubuhnya melemah. Sebaliknya, ketidaksukaan Raymond terhadap bayi dalam kandungan Cattleya makin menjadi. Entah sudah berapa kali dia terjaga dengan minuman di tangan, merasakan ketakutan bahwa waktunya bersama Cattleya akan segera berakhir. Dan hari ini, adalah jawaban atas ketakutan yang menghantuinya selama beberapa bulan belakangan.
Raymond meninggalkan ruang kerjanya, berderap cepat di sepanjang lorong panjang. Seloroh Cattleya bahwa lebih baik dia mabuk selama proses kelahiran bayinya, kini terdengar masuk akal di telinga Raymond. Sebenarnya, dia bisa saja minum di ruang kerjanya. Akan tetapi, dia lebih memilih berada sejauh mungkin. Meninggalkan atmosfer tegang yang pasti tercipta di seluruh kastil. Merasakannya saja dia tidak sanggup.
Langkah Raymond baru saja mencapai setengah anak tangga saat dia berhenti. Pria itu mencengkeram pegangan tangga dengan erat, geram pada diri sendiri yang tidak sanggup melangkah lebih jauh. Bahkan tanpa melihat pun, bayangan Cattleya yang sedang kesakitan menyiksanya. Menolak untuk meninggalkan pikirannya. Di mana pun Raymond berada, takkan ada bedanya. Gadis itu akan selalu memenuhi kepalanya.
Raymond berbalik, kini melangkah ke tempat yang paling tidak ingin dia datangi saat ini. Banyak yang sudah berkerumun di depan kamarnya begitu dia datang. Beberapa pelayan wanita yang sibuk mondar-mandir serta para penjaga. Semuanya menghentikan kegiatan mereka saat melihat kehadiran Raymond. Pria itu melepas jasnya, memberikan pada salah satu pelayan tanpa melihat.
"Dokter sudah datang?"
"Su... sudah." Pelayan yang menerima jasnya menjawab gugup. "Dia sedang memeriksa... "
Suara jeritan memutus kalimat pelayan tersebut. Raymond memucat, kini menatap tajam pada pelayannya yang mulai gemetar karena dia pelototi. "Is that normal?"
"Ya." Pelayan wanita itu menjawab cepat. "Merasa sakit saat melahirkan itu normal."
Raymond tahu itu. Dia hanya tidak tahan mendengar jeritan Cattleya. Pria itu menyugar rambut, berjalan mondar-mandir di depan kamar tanpa tujuan. Kini, ketegangan yang menyelimuti bukan hanya berasal dari proses kelahiran bayinya. Para pekerja melihat Raymond takut-takut, tidak berani bicara dan bergerak sehati-hati mungkin di sekitar pria itu. Jeritan lagi dan Raymond nyaris menjambak rambutnya. Dia memelototi pintu yang tertutup, tempat jeritan itu berasal.
Lalu tanpa aba-aba, pintu di hadapannya terbuka. Menampakkan sosok Maggie yang bergerak tergesa, tapi berhenti begitu melihat Raymond.
"My Lord, Anda tidak jadi pergi?"