Soulmate (3)

337 42 0
                                        

Hazel cukup terkejut saat pagi itu dia melihat Ace telah berada di meja makan dan sedang sarapan bersama orangtuanya. Ternyata, apa yang dikatakan oleh ayahnya benar. Ace kembali. Walaupun Hazel menyadari perubahan sikap pria itu yang tidak biasa. Ace tidak menatapnya, bersikap menjaga jarak seakan Hazel adalah wabah mematikan yang siap menulari pria itu bila berada dekat. Namun, Hazel juga menyadari bahwa sikap Ace tidak hanya ditujukan kepadanya. Ace masih kelihatan marah. Pada semua orang yang berada di ruang makan ini.

"Tidurmu nyenyak?" tanya Eva saat Hazel telah duduk. Wanita itu meletakkan piring berisi waffle ke depan Hazel, bersikap biasa seakan tidak ada ketegangan yang sedang menyelimuti mereka semua. Ketegangan yang bersumber dari Ace.

"Ya. Aku tidur nyenyak." Hazel menjawab lirih. Tatapannya tidak berpindah dari Ace yang kini memegang sendok serealnya dengan erat, tanpa niatan untuk mengangkat wajah dari isi mangkuknya yang baru dimakan setengah.

Hazel mengunyah waffle, berusaha menunjukkan sikap yang sama dengan ibunya. Kunyahannya pelan dan tidak berselera, sementara ayahnya bersikap sama seperti ibunya. Pria itu duduk santai menikmati sereal sambil membaca koran.

"Ace yang akan mengantarmu ke sekolah," perintah ayahnya tanpa mengalihkan perhatian dari koran yang sedang dia baca.

Seketika, Ace membanting sendoknya, menatap berang pada Chase yang masih berwajah tenang. Ace berdiri, menimbulkan bunyi derit keras ketika kursi yang dia duduki bergeser mendadak.

"Aku berangkat sendiri." Ace berbalik cepat, mengabaikan perintah Chase dan mulai meninggalkan ruang makan.

"Antar adikmu ke sekolah." Meski Chase sama sekali tidak meninggikan suara, semua orang dapat mendeteksi peringatan yang terselip dalam kalimatnya. Hazel menelan ludah. Mendadak takut saat melihat kedua pria yang paling dia sayangi, saling melempar pelototan marah.

Dugaannya adalah karena kondisi emosional Ace yang belum stabil setelah perubahan pertama pria itu. Namun, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa bukan hanya itu sumber kemarahan Ace. Hazel sungguh ingin tahu, tapi terlalu takut bahwa dia akan membangunkan hal yang lebih berbahaya dalam diri Ace. Pria itu tidak lagi seperti kakak yang selama ini dia kenal. Ace bukan lagi sosok riang yang suka menjailinya. Perubahan wujud pria itu, mengubah pribadinya dalam waktu semalam.

"Aku naik bus saja." Hazel berdiri, meninggalkan waffle-nya yang masih banyak tersisa. Ketegangan pagi ini menghilangkan selera makannya.

Lalu gadis itu melihat sikap Ace yang perlahan melunak. Bahu Ace tidak lagi sekaku sebelumnya, dan kalimat pria itu juga meyakinkan dugaan Hazel.

"Kutunggu di mobil."

***

"Ada apa, Ace?"

Hazel tidak tahan untuk bertanya saat mereka hanya berdua saja dalam perjalanan menuju sekolah. Ace tidak menjawab pertanyaan gadis itu, berkonsentrasi penuh untuk mengemudikan jeep-nya. Kesedihan mengubah raut wajah Hazel. Gadis itu menunduk, menatap jari-jarinya yang bertaut di atas pangkuan.

"Aku tidak ingin berubah, kalau akhirnya akan menjadi pemarah seperti dirimu sekarang," Hazel berkata sambil lalu. Lebih karena sedih daripada kesal oleh sikap Ace yang berubah.

"You will not turn."

Hazel mengangkat kepala begitu mendengar kalimat Ace. Dahi gadis itu berkerut heran. "What do you mean? Tentu saja aku akan berubah. Sama seperti Mom, Dad, dan dirimu. Bahkan itu bisa terjadi kapan saja sejak sekarang. Aku sudah 17 tahun. Aku sudah dewasa dan...."

Kalimat Hazel terhenti oleh nyeri tajam yang tiba-tiba menusuk dadanya. Gadis itu menunduk, memegangi dadanya yang berdenyut. Ace menepikan mobil, memarkirnya di tepi jalan dengan sembarangan.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang