Once Upon A Time (6)

624 43 29
                                    

Pukulan itu mendarat bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali di tangan anak laki-laki berambut keemasan tersebut. Namun, tak ada seru kesakitan yang keluar dari mulut anak itu. Hanya mata yang terpejam dan bibir terkatup menahan sakit.

"Kebodohanmu membuatku malu! Berhenti bermain-main dan pakai otakmu untuk berpikir!"

Raymond mengangguk. Masih meresapi nyeri yang ditimbulkan oleh tongkat kayu di tangan ayahnya.

"Bicara! Apa selain bodoh kau juga bisu?"

"Tidak... Ayah."

Sebuah pukulan keras kembali mendarat di telapaknya, begitu kuat hingga mematahkan batang kayu tersebut. Ayahnya berdecak tidak senang, memerintahkan pelayan untuk mengambil batang kayu baru.

"Please... stop." Raymond mulai menangis, yang sama sekali tidak mengundang simpati ayahnya. Bahkan, pria itu mulai bicara dengan suara mengancam.

"Kau menyuruhku berhenti?"

Raymond menggeleng kuat, menyadari kesalahan yang dia lakukan. "I said please... "

Tangan gempal ayahnya menghantam tubuh kecil Raymond. Membuatnya tersungkur dengan telinga berdenging. Raymond berusaha duduk sambil melawan pusing yang melanda, beringsut mundur ketika bayangan tubuh besar itu menaunginya.

"Kau akan memberi perintah setelah aku tiada. Selama aku masih ada, kau hidup di bawah aturanku. Doing everything I say. Tidak peduli meski kau harus merangkak di bawah kakiku untuk mewujudkannya. Kau mengerti?!"

Kelopak mata Raymond terbuka mendadak. Pria itu duduk tegak seketika dengan jantung berdebar tak karuan. Dia mengusap wajah dengan sebelah tangan, merasakan keringat membasahi telapaknya. Tidur. Dia tidak pernah suka tidur. Karena saat matanya terpejam, mimpi buruk itu seringkali menghantui. Memori masa kecil yang memilih untuk terus bercokol di dalam kepalanya.

Sebuah usapan lembut hinggap di dada telanjangnya. Sontak, Raymond memalingkan wajah, bertemu dengan pandangan cemas Cattleya.

"Kau baik-baik saja?"

Terkadang Raymond lupa bahwa dia tidak lagi tidur sendiri. Berusaha mengatur napas, dia menatap nanar gadis itu. Berjuang menyatukan kembali pikirannya yang masih terbelah antara mimpi dan kenyataan.

"Ya. Ya. Aku tidak apa-apa." Raymond mengayunkan kaki turun dari tempat tidur, mengenakan jubah kamar untuk menutupi ketelanjangannya. Dia menuju lemari kaca tempatnya menyimpan minuman, menuang segelas wine untuk dirinya sendiri.

Pria itu merebahkan diri di kursi berlengan tempat dia biasa menatap pemandangan malam dalam kesunyian, menyesap wine-nya dengan tangan bergetar samar. Cattleya memperhatikan bahwa Raymond tidak setenang biasanya. Bukan sekali dia menemukan pria itu gelisah dalam tidurnya. Namun, baru kali ini dia melihat Raymond bangun dari mimpi yang mengganggu. Gadis itu menyusul Raymond, memakai jubah kamarnya. Tatapan pria itu masih jatuh pada malam gelap di luar jendela, melamun dengan gelas kosong di tangan.

Raymond baru menaruh perhatian padanya saat Cattleya duduk di pangkuan pria itu. Dia mengambil alih gelas di tangan Raymond, meletakkannya pada meja kecil di dekat mereka. Raymond masih menatapnya sambil membisu, membiarkan Cattleya menyentuh wajahnya, membelai rahangnya lembut. Mata pria itu terpejam, meresapi kehangatan kulit gadis itu yang beradu dengan kulitnya. Lalu, elusan Cattleya merambah bibirnya, membuat Raymond sontak membuka kembali kedua matanya.

Pandangan mereka beradu. Lautan dalam dan jernihnya perak. Gadis itu memajukan tubuh dengan niatan yang sangat jelas. Raymond tahu seharusnya dia mencegah Cattleya, tapi tubuhnya tidak bergerak sesuai keinginannya. Bibir mereka bertemu untuk kali pertama. Sentuhan lembut tanpa dorongan nafsu di dalamnya. Hanya kecupan ringan. Seakan Cattleya memahami kegelisahan Raymond tanpa perlu kata-kata di antara mereka.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang