Aku tidak bertemu Daryl pagi ini. Saat aku bangun dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Secarik kertas di samping piring berisi crepes dengan topping buah segar serta segelas milkshake strawberry menarik perhatianku. Tertulis 'SARAPAN' dengan huruf besar-besar. Aku menyeringai senang. Sebenarnya Daryl tidak perlu melakukan ini, tapi dia tidak pernah absen membuat sarapan untukku. Biasanya kami makan berdua. Mungkin pagi ini dia sedang terburu-buru.
Saat tiba di kampus, aku bergegas mencari Gia. Perpisahan kami setelah belanja kemarin membuatku tidak enak. Harusnya aku tidak bersikap seperti itu kepadanya. Aku tahu Gia hanya mengkhawatirkanku. Memang terkadang aku merasa perhatiannya terlalu berlebihan, apalagi sejak kejadian aku kehilangan ingatan. Namun aku tahu Gia hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Serta membantuku untuk mengingat kembali hal-hal yang telah kulupakan karena peristiwa itu. Berkebalikan dengan orang tuaku yang ingin aku melupakan segalanya, Gia bersikeras kalau aku harus mengingat. Ada banyak kenangan indah yang kulupakan. Itulah yang selalu dia katakan.
Aku menemukan Gia di taman dalam kampus. Dia tidak sendiri. Daryl tengah berada bersamanya. Seketika detak jantungku menjadi lebih cepat. Apa yang terjadi denganku? Pasti karena Daryl menciumku semalam. Ya. Tidak peduli meski Daryl adalah gay, dia jelas pria yang menarik. Siapa pun akan berdebar bila mendapat ciuman darinya. Well... rasa itu akan segera hilang, karena aku yakin itu hanya euphoria sesaat. Tubuh Daryl terbungkus T-Shirt putih dengan lengan panjang yang digulung hingga siku. Celana jeans-nya melekat dengan pas pada kaki panjangnya. Sebelah bahunya memanggul ransel yang selalu dia bawa untuk kuliah. Kenapa aku jadi memperhatikan penampilan Daryl? Kugelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran. Sebaiknya euphoria ini segera menghilang.
Daryl tidak melihat kedatanganku. Begitu pula Gia. Mereka tengah asyik mengobrol. Tapi ada yang berbeda kali ini. Mereka berdua tidak lagi tampak sedang bertukar lelucon konyol. Wajah Daryl terlihat tegang. Berkali-kali dia menyisirkan tangan ke rambut. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia sedang kesal. Atau marah. Gia berusaha meraih tangan Daryl yang terus bergerak karena amarah, dan pria itu mengibaskannya meski tidak dengan kasar. Namun cukup untuk membuat Gia sadar bahwa dia tidak ingin ditenangkan. Aku menangkap sepenggal percakapan saat telah dekat dengan mereka berdua.
"... pelan-pelan. Kau harus bersabar...."
"Are you fucking kidding me, Gia?! Hanya Dalai Lama yang bisa menandingi kesabaranku bertahun-tahun ini!"
"You need to calm down! Ingat perjanjian kita—"
"Perjanjian apa?"
Kata-kata Gia terputus oleh pertanyaanku yang tiba-tiba. Mereka tampak sangat terkejut melihat kehadiranku. Daryl langsung membuang muka. Menghindar dari tatapan ingin tahuku. Aku balik menatap Gia. Dia tampak gugup, segera mengendalikan diri dengan cepat sebelum menjawab pertanyaanku.
"Masalah pribadi. Daryl sedang bermasalah dengan... seseorang yang dia sukai. Aku berjanji akan membuat mereka bersama lagi." Gia mengatakannya dengan sangat hati-hati sambil melirik Daryl melalui sudut matanya. Wajah Daryl masih tampak tidak senang. Bahkan lebih daripada tadi.
"Kenapa kau tidak pernah cerita?" tanyaku lembut. "Mungkin aku bisa membantu—"
"Aku ada kelas. Sampai ketemu nanti." Kata-katanya ketus dan dia pergi meninggalkan aku dan Gia yang masih terpaku.
Gia memeluk bahuku, kemudian berkata menenangkan. "Daryl jarang marah, tapi saat itu terjadi.... Yah... bisa dibilang dia jadi orang brengsek untuk sesaat. Jangan diambil hati."
"Kurasa itu juga terjadi pada kita semua bila sedang marah." Aku berkata masam. Gia benar. Daryl hanya butuh waktu untuk meredakan amarahnya. "Maafkan aku."