The Sweetest Lie (3)

330 38 2
                                    

"Maafkan aku...." kataku terbata-bata. "Aku tidak tahu kalau... kalau...."

"Carol—" Daryl membuka mulut untuk menyela, tapi aku langsung memotongnya.

"Tidak akan terjadi lagi... aku sungguh-sungguh minta maaf...."

"Carol!"

Aku langsung melesat pergi menuju kamarku. Mengabaikan seruan Daryl yang memanggil namaku. Kututup pintu kamar dengan bunyi berdebam keras. Tubuhku merosot ketika aku bersandar pada daun pintu. Kubenamkan wajah di antara kedua lutut sambil memeluk diri sendiri dengan erat. Kenapa aku bisa melupakan hal penting itu? Daryl adalah gay. Dan aku hampir saja merusak hubungannya dengan... pacar barunya. Apakah pria itu melihatku memeluk Daryl? Kuharap tidak. Kalaupun iya, maka aku harus menjelaskannya. Bahwa Daryl tidak berbuat apa-apa dan akulah yang melemparkan diri ke dalam pelukannya. Daryl bahkan tidak melakukan apa pun untuk membalas pelukanku. Pasti dia merasa terganggu karena tindakanku itu. Seharusnya dia mendorongku menjauh. Untuk menyadarkanku bahwa dia jauh di luar jangkauanku. Suara ketukan pelan di pintu kamar membuatku mendongak.

"Carol." Suara lembut Daryl menyusup ke dalam telingaku. Aku menahan napas dan tidak bergerak. Berharap dia mengira bahwa aku tidak mendengar panggilannya dan sudah tertidur. "Aku tahu kau masih bangun."

Bagaimana dia tahu? Kemudian kusadari lampu kamar yang masih menyala. Daryl pasti sudah hafal kebiasaanku yang selalu tidur dengan mematikan lampu. Aku tidak bisa sembunyi darinya. Mustahil melakukan itu saat kami tinggal di apartemen yang sama. Lagi pula, sembunyi bukanlah jalan keluar dari hal ini. Aku harus menghadapi Daryl dan meluruskan segalanya. Aku menegakkan kepala sebelum bangkit berdiri. Kuambil napas panjang, lalu membuka pintu kamar dan langsung berhadapan dengan sosok Daryl. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia telah mengenakan T-Shirt abu-abu dan tidak lagi bertelanjang dada seperti tadi. Aku bersyukur.

"Dia sudah pulang?" tanyaku ragu. Sedikit merasa bersalah karena insiden tadi.

"Ya." Daryl menjawab singkat. Dia menatapku lekat. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Membuat rasa bersalah kembali menderaku. Ternyata aku memang telah membuat masalah.

"Aku minta maaf...." Kembali kuulangi kalimat itu. Rasanya tidak akan cukup meski aku telah mengatakannya berkali-kali. Daryl menghela napas panjang. Aku menelan ludah gugup. Ini lebih buruk daripada yang sudah kuduga. Daryl pernah mengatakan bahwa hubungan dengan sesama jenis lebih sulit untuk dipertahankan. Dan aku baru saja menghancurkan salah satunya. "Apa yang dapat kulakukan untuk menebusnya? Aku bisa pergi menemui pria tadi dan menjelaskan bahwa dia salah paham."

"Carol...."

"Beritahu aku nama dan nomor teleponnya...."

"Carol...."

"Bukan. Alamatnya. Berikan aku alamatnya...."

"Carol... please...."

"Aku akan pergi sekarang. Katakan saja di mana—"

Kalimatku terputus saat mendadak Daryl mencium bibirku. Aku terpaku di tempatku berdiri dan membelalakkan mata dengan terkejut. Kedua tangan Daryl menangkup wajahku. Bibirnya terasa lembut menekan bibirku. Mengecapku. Membuaiku ke dalam kehangatannya. Daryl melepaskan ciumannya, kemudian menatapku sambil tersenyum.

"Sudah tenang?"

Aku hanya dapat mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Tidak sanggup berkata-kata. Dia menggenggam tanganku, kemudian membimbingku ke tengah ruangan. Aku hanya mengikutinya seperti seseorang yang terhipnotis. Dia mendudukkanku di atas sofa, lalu ikut duduk di sisiku. Tanganku bergerak menuju bibirku. Aku masih dapat merasakan bibir Daryl di sana.

"Kau menciumku?" tanyaku hampir tidak percaya.

"Yes. To shut your mouth." Daryl terlihat santai saat mengatakannya. Senyum geli tergambar di bibirnya. Bibir yang tadi menciumku. Aku harus berhenti memikirkannya. Jelas Daryl tidak menganggap ciuman itu sebagai sesuatu yang serius seperti diriku.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang