Monster Under The Bed (3)

279 36 1
                                    

Aku melakukan kesalahan. Seharusnya aku tidak pernah menceritakan tentang monster itu kepada Mr. Hunt. Seharusnya aku tidak bercerita tentang bekas luka yang kupunya. Apalagi kalau tidak ada orang lain yang bisa melihatnya kecuali diriku. Bisa kutebak bagaimana penilaiannya pada diriku sekarang. Dan aku peduli pada penilaiannya. Dia adalah guru yang menjanjikan surat rekomendasi masuk universitas kepadaku. Dia juga punya wewenang untuk membatalkan surat tersebut bila melihat reaksinya setelah sikapku sore itu. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan tersebut. Jadi, dengan tekad bulat, kuhampiri kantornya setelah kelas selesai. Bagaimanapun juga, aku butuh surat tersebut. Dengan latar belakang ekonomi keluargaku, beasiswa adalah satu-satunya kesempatanku untuk masuk college selain nilai-nilaiku yang cemerlang.

Aku mengambil napas panjang, membuangnya perlahan. Memberi dorongan semangat pada diriku sendiri. Suara rendah yang sama memberi perintah kepadaku untuk memasuki kantor tersebut.

"Can I help you, Miss Alvarez?" tanyanya begitu aku melewati ambang pintu.

"Apakah aku mengganggu, Sir?" aku bertanya penuh keraguan ketika melihat tatapan tajam dari balik kacamata yang bertengger di wajahnya.

"Tidak. Duduklah."

"Aku datang ke sini untuk minta maaf, Sir," ujarku segera begitu duduk di kursi. "Maaf kalau Anda merasa kurang nyaman dengan sikapku sebelum ini."

Dia menautkan jemari kedua tangannya menjadi satu, menopangkan dagu sambil menatap lurus-lurus ke arahku. "Sikap yang mana?"

"Tentang ... ceritaku. Dan tentang ... bekas luka yang kumiliki. Kuharap Anda tidak menganggapnya serius dan masih berniat menuliskan surat rekomendasi untukku, Sir."

"Jadi, kau kemari karena surat rekomendasi, bukan sungguh-sungguh minta maaf."

"Bukan ... maksudku.... Aku ke sini untuk meminta maaf dan..."

Aku kesulitan melanjutkan kalimatku. Kenapa dia ingin membuat segalanya sulit bagiku? Dan lagi, tatapannya yang tidak berpindah dariku sejak tadi membuatku gugup setengah mati.

"Jadi yang mana, Miss Alvarez? Kau benar-benar menyesal atau kau meminta maaf hanya untuk rekomendasi?" Pertanyaannya terdengar tajam menusuk. Dan menuntut kejujuran. Aku tidak terbiasa berbohong. Demi masuk kuliah sekalipun.

"I need that recomendation, Sir," jawabku akhirnya tanpa basa-basi.

"Seberapa butuh?"

"Sir?"

"What will you do to get that recomendation, Miss Alvarez?" Kini, dia mengistirahatkan punggung pada sandaran kursi, masih tanpa melepas jalinan jemarinya yang kini dia letakkan di atas perut.

"Aku akan menjadi asistenmu sampai akhir semester, Sir. Sesuai permintaan Anda." Aku mengingatkannya kembali. Mendadak, tatapannya mulai membuatku gelisah. Dia terlihat agak berbeda dari sebelumnya. Lebih tenang ... dan mengancam. Tidak. Pasti hanya imajinasiku. Aku harus mulai menyingkirkan bayangan monster itu setiap kali aku melihat wajah Mr. Hunt.

"That's not enough. I wanna see that bite mark."

Kutegakkan tubuh dengan seketika, menjawab defensif. "No."

"Then you know where's the exit." Dia berkata tenang tanpa menaikkan suara. Kembali, dia menekuni pekerjaannya yang sempat terpotong oleh kedatanganku. Mengabaikan keberadaanku sepenuhnya.

Aku berdiri, mengambil langkah ke pintu keluar sesuai sarannya. Kemudian menguncinya dari dalam. Mr. Hunt mengangkat kepala ketika mendengar suara kunci yang diputar. Meski cemas luar biasa, aku menjaga suaraku tidak gemetaran ketika bicara.

"Kalau ada yang tahu, kita akan mendapat masalah besar."

"Jangan khawatirkan itu. Tunjukkan."

Dia berdiri dari kursi, berjalan mendekatiku. Kecemasanku makin bertambah seiring langkah yang dia ambil. Jarak kami tidak lebih jauh dari sejangkauan lengan. Aku baru menyadari perbedaan tinggi badan kami yang cukup mencolok saat dia berada sedekat ini denganku.

"Maukah Anda berbalik sebentar ... Sir?"

Mungkin karena getaran yang mengiringi permintaanku, hingga dia langsung melaksanakannya tanpa desakan lagi.

Aku melepas sepatu serta kaus kaki, kemudian meloloskan kancing celana jeans dengan tangan gemetaran, menarik turun retsleting. Bekas gigitan itu tampak jelas begitu aku melepas celana jeans-ku. Terlihat seperti bekas gigi taring manusia, bukan binatang. Aku mundur beberapa langkah, mengambil tempat pada salah satu sofa panjang di ruangan tersebut, duduk dengan paha terkatup rapat dan kedua tangan berusaha menarik T-Shirt-ku agar lebih panjang dari seharusnya.

"Anda bisa berbalik sekarang."

Wajahku merah padam saat Mr. Hunt langsung menjatuhkan tatapannya pada paha terbukaku. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya melangkah mendekati tempatku duduk. Bunyi sol sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di dalam kantor yang sunyi. Dia berlutut di hadapanku, mengalihkan tatapan pada wajahku yang tertunduk dan memerah malu.

"Show me."

Aku memejamkan mata rapat-rapat dan membuka pahaku lebih lebar, menunjukkan bekas gigitan tersebut tapi terlalu malu untuk melihat reaksinya. Tidak kupercaya aku berani melakukan ini. Duduk dalam keadaan setengah telanjang di depan guruku sendiri demi surat rekomendasi. Mungkin aku bertindak bodoh. Belum tentu dia bisa melihat luka itu. Bisa jadi aku hanya mempermalukan diriku sendiri....

"Beautiful."

Komentarnya membuat aku membuka mata dengan mendadak. Mr. Hunt menjatuhkan pandangan pada luka di paha dalamku. Dia bisa melihatnya. Keyakinanku bertambah kuat saat dia mengulurkan tangan, menyentuh bekas luka itu dengan jemari panjangnya. Didorong oleh insting melindungi diri, aku bergerak untuk merapatkan pahaku, tapi dia menahannya dengan kedua tangan. Cekalannya kuat. Rasa takutku menyeruak tanpa dapat dicegah.

"Sir!"

"Sshhh...."

Wajahnya mendekati bekas lukaku, begitu dekat dengan area intimku karena lokasinya yang bersebelahan. Aku panik. Kucengkeram bahunya kuat, mencegahnya melakukan apa pun yang dia pikirkan. Kuharap dugaanku salah, tapi dia benar-benar melakukannya. Mr. Hunt mendaratkan bibirnya pada bekas luka itu. Aku memekik saat bibirnya yang dingin menekan kulit lembut pahaku. Kukerahkan seluruh tenaga untuk mendorongnya menjauh, tapi usahaku bagai angin lalu baginya.

"Sir, lepaskan aku! Anda sudah keterlaluan! Aku bisa...."

"Kau bisa apa?" Suaranya terdengar mengejek. Tidak lagi serius seperti biasanya. Aku menatap wajah itu lekat. Tiba-tiba, bayangan monster itu kembali menyeruak dalam benakku. Kengerian yang sama melanda diriku begitu dia membalas tatapanku. Bagai memori yang terulang kembali, senyum yang dia tunjukkan terlihat sama seperti seringai yang ditunjukkan monster yang mendatangiku saat kecil.

"Don't you miss me ... Luna?"

Aku tertegun. Lalu sebuah kesadaran menghantamku dengan telak. Aku tidak pernah salah. Itu memang dia. Dia benar-benar kembali untukku. Suaraku lolos dalam satu jeritan kencang.

***

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang