Devil Beside Me (3)

294 36 1
                                    

Mia menyeruput espresso frappucino miliknya sambil memperhatikan orang-orang yang tengah lalu-lalang. Jari telunjuknya mengetuk meja dengan bosan. Dia memainkan gadget-nya tanpa semangat. Duduk sendirian di coffee shop dalam mall bukanlah kegiatan yang menyenangkan, tapi dia tidak memiliki kenalan di kota ini. Waktu-waktu berkunjungnya dulu, selalu dihabiskan menjadi bulan-bulanan Thomas atau menghindari pria itu. Jadi dia tidak pernah berpikir untuk mencari teman.

Gadis itu mengedarkan pandangan tanpa minat. Dia memang butuh keluar dari rumah Tante Laura untuk beberapa saat. Sudah tiga hari dia menghabiskan waktu di sana tanpa kegiatan berarti. Selain menonton TV, membaca buku, dan tentu saja menghindari Thomas sebisa mungkin. Saat dia pamit akan pergi keluar, Tante Laura mengusulkan agar gadis itu pergi bersama Thomas. Membiarkan pria itu menemaninya jalan-jalan menjelajahi kota. Mia menolak ide itu mentah-mentah. Bergidik membayangkan dia harus dibonceng di belakang motor Ducati pria itu. Meski yang lebih membuatnya ngeri adalah prospek menghabiskan waktu berdua bersama Thomas. Mia yakin dia tidak akan pulang dalam kondisi utuh. Jadi dia buru-buru pergi naik taksi sebelum Tante Laura sempat berkata apa-apa lagi.

Sekarang, dia agak menyesali keputusannya. Mungkin ditemani seseorang bukanlah ide yang buruk, Thomas sekalipun. Lagi pula apa yang bisa pria itu lakukan di tengah keramaian? Thomas memang menyebalkan, tapi Mia yakin pria itu tidak akan berbuat macam-macam di tempat umum. Mia menjatuhkan punggung pada sandaran kursinya. Pandangannya jatuh pada pria yang tengah duduk bersama dua orang temannya, tidak jauh dari tempatnya berada. Bukan sekali dia menangkap tatapan pria itu kepada dirinya. Berusaha menarik perhatian Mia dengan senyumannya yang memikat. Mia tidak membalas. Bukannya pria itu tidak menarik, tapi dia bukan tipe gadis yang akan melempar rayuan pada pria pertama yang berusaha mendekatinya. Kalau itu terjadi, maka deretan mantan pacarnya akan menyaingi milik Thomas.

Pria yang memperhatikannya sejak tadi berdiri dan mulai berjalan menghampirinya. Mia membuang pandangan dengan jengah. Dia benar-benar tidak menginginkan ini. Cukup mengejutkan bahwa saat ini, gadis itu berharap bahwa Thomas berada bersamanya. Pria itu akan berpikir ribuan kali untuk mendekatinya, karena jelas dia bukan tandingan Thomas. Astaga! Apa yang Mia pikirkan? Dia harus mengenyahkan Thomas dari pikirannya. Dan berhenti membandingkan Thomas dengan pria lain.

Mia meraih tasnya dan bangkit dari tempat duduk. Berusaha melarikan diri dari situasi tidak nyaman yang pasti akan terjadi. Namun, gerakannya tidak cukup cepat.

"Hai."

Gadis itu ingin mengerang frustrasi, tapi pria itu pasti tersinggung. Jadi Mia memaksakan senyum tipis di bibir mungilnya saat berhadapan dengan pria itu.

"Hai," balasnya dengan suara senetral mungkin.

Pria itu tersenyum penuh percaya diri. Tangannya terulur ke arah Mia.

"Radit." Pria itu memperkenalkan diri. "Aku memperhatikanmu sejak tadi."

Mia tahu itu. Dia tidak buta. Gadis itu membalas uluran tangan Radit setengah hati. "Mia."

Radit menggenggam tangan Mia agak terlalu lama daripada seharusnya. Gadis itu harus menariknya agar Radit melepaskannya.

"Boleh aku duduk?" tanya Radit sambil menunjuk kursi di depan Mia.

"Silakan. Tapi aku akan pergi sekarang."

Pria itu menatap Mia dengan pandangan terkejut. Tampaknya Radit jarang ditolak, tapi pria itu segera menguasai diri. "Kau terburu-buru?"

"Ya," ujar Mia cepat. Dia memang terburu-buru. Untuk segera menghindar dari pria yang baru dia temui ini.

"Boleh aku minta nomor teleponmu?" Radit tidak juga menyerah.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang