ILY, But... (2)

398 34 0
                                    

Bahkan setelah Bryce mengantarku pulang, aku masih belum bereaksi terhadap kata-katanya. Aku langsung berlari ke lantai 2, tempat kamarku berada, setelah tiba di rumah. Sepenuhnya mengabaikan panggilan orang tuaku yang ingin kami semua mengobrol bersama Bryce. Seperti dahulu. Permintaan yang kuabaikan tanpa ragu. Bagaimana aku bisa menghadapi Bryce setelah pengakuannya? Perasaanku terbelah. Antara bahagia dan merasa bersalah. Namun, perasaan bersalah menguasaiku lebih kuat, hingga aku tak sanggup lagi bersama Bryce lebih lama.

"Aku hanya ingin kau tahu."

Itu yang dia ucapkan sebelum melepaskanku. Membuatku terdiam dengan pikiran kalut di sepanjang perjalanan pulang.

Sejak kapan? Kenapa Bryce baru mengatakannya sekarang?

Semua pertanyaan tersebut hanya berputar di dalam kepalaku. Tanpa aku meminta jawabannya.

Bunyi mesin mobil menarik langkahku ke tepi jendela. Kuperhatikan jeep Bryce yang melaju menjauhi rumahku. Dia tidak mampir lama. Benar-benar hanya untuk menyapa orang tuaku. Aku menghela napas berat, menempelkan kening pada kaca jendela yang dingin. Aku yang dulu, tak akan ragu menyambar kesempatan untuk bersama Bryce. Namun, aku yang sekarang...

Terlalu banyak yang telah terjadi. Betapa keadaan telah berubah sejak kematian Amanda. Aku bukan lagi gadis tomboy pemberontak yang suka berbuat sekehendak hati. Sekarang, aku adalah gadis dewasa. Tanpa temperamen yang mudah meledak seperti dulu. Juga tanpa perasaan suka yang menggebu pada Bryce.

Cinta, bukan suka. Aku tertawa pahit saat menyadari kenyataan tersebut. Ternyata, masih ada satu hal yang belum berubah. Tak peduli meski aku ingin menyangkalnya, Bryce adalah satu-satunya pria yang memiliki hatiku hingga saat ini. Bedanya, aku tak lagi bisa menatapnya tanpa mengingat Amanda. Kakakku, hidup maupun mati, akan selalu ada di antara aku dan Bryce.

***

"Excuse me, Sir. Can you help me? Aku mencari Bryce Adams."

Pria tambun yang kutanya, baru saja menambatkan sauh di dermaga. Ada sangat banyak kapal yang berlabuh. Berderet rapi bagai telah dikomando. Dengung percakapan dari beberapa pria memenuhi udara. Bercampur dengan aroma keringat, bau amis serta lautan.

Pria itu menoleh ke arahku, menatap penuh tanya dari bawah bucket hat yang dia pakai. Untuk sesaat, dia hanya mengamati penampilanku yang sama sekali tidak cocok untuk berada di dermaga. Angin laut meniup rok gaun selututku. Aku agak menyesal karena membiarkan rambutku tergerai sebelum pergi ke sana. Meski untung saja, aku masih terpikir untuk memakai sepatu flat daripada heels. Ujung hakku pasti akan mengalami cobaan berat setiap kali melewati lantai beton dermaga yang tidak rata.

"Zoe Whitlock?" Pria tambun itu melepas topinya, menatapku seakan baru saja melihat hantu.

"Yes. Do I know... Mr. Eames ?!"

"Astaga! Ternyata memang kau! You've changed so much." Mr. Eames mengikat tali kapalnya pada bolder* di tepian dermaga sebelum menghampiriku. Aku bergegas mendekatinya, begitu gembira karena bertemu dengan penjaga sekolahku dulu.

"Kenapa kau ada di sini?" tanyaku heran.

"Pertanyaan yang sama. Sejak kapan kau pulang? Dan... apa yang terjadi padamu? Ke mana bocah biang onar yang dulu suka pakai baju laki-laki?"

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang