ILY, But... (3)

668 55 7
                                        

"Bryce ada di bawah."

Untuk kesekian kali dalam beberapa hari terakhir, ibuku menyampaikan kabar tersebut. Dan, aku memberi jawaban yang sama kepadanya.

"Bilang aku tidak ada di rumah."

"Sudah. Dia sudah pergi. And he knows I'm lying everytime I said you're not home." Ibuku berkata jengah, yang hanya kutanggapi dengan memalingkan wajah. "Apa yang terjadi?"

Aku terdiam, memutuskan untuk tidak menjawab. Desah pasrah ibuku terdengar kemudian, hingga akhirnya dia masuk ke kamar dan duduk denganku di tepi ranjang. Dia menyibak rambutku yang jatuh di sisi wajah, menyelipkannya ke belakang telinga. Senyum tipis menghiasi bibir ibuku saat aku menoleh kepadanya.

"Kalian bertengkar?"

"Sort of," jawabku tak acuh.

"Go easy on him. He is having a hard time after your sister's death."

"Will you stop that?" Aku menatap ibuku jengkel.  Mulai muak dengan segala situasi yang kualami.

"What do you mean?" Ibu menatapku bingung. Jelas tidak mengerti apa yang membuatku kesal.

"Berhenti mengungkit Amanda di setiap percakapan. She is already dead."

Sakit hati membuat nada bicaraku berubah ketus. Lalu kulihat perubahan raut wajah ibuku. Kebingungan dan kecewa yang menjadi satu. Dia pasti berpikir aku tidak menghargai kenangan Amanda karena komentarku barusan. Aku tidak tahan lagi. Bersama Bryce maupun keluargaku, memberi perasaan sesak yang sama terhadap diriku.

Kuhela tubuh bangkit, menuju lemari pakaian dan membukanya kasar. "Aku akan pergi ke pantai," ucapku tenang yang berlawanan dengan suasana hatiku. "Maaf, Mom. Aku tidak bermaksud bicara seperti tadi. Aku hanya belum terbiasa dengan suasana rumah."

Sebuah tepukan di pundak menghentikan gerakanku yang sedang mengambil baju renang. Kuremas bikini bermotif tersebut kuat-kuat tanpa menolehkan kepala. Tubuhku di balik perlahan, hingga berhadapan dengan ekspresi sendu ibuku.

"Kau selalu menjaga jarak." Dia mulai bicara, "Sejak Amanda masih bersama kita. Juga setelahnya. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku hanya menunduk tanpa kata. Jika aku membuka mulut, akan ada banyak rentetan kalimat sakit hati yang keluar. Bukan hobiku menimbulkan keributan di dalam keluarga. Sejak dulu, aku selalu bisa menahan diri setiap kali semua orang membanggakan Amanda. Menjadikanku adik yang hanya bisa hidup di balik bayang-bayangnya.

"I'm sorry." Mendadak, Ibu merengkuhku ke dalam pelukan. Merangkumku dalam kehangatan dekapannya. "Maaf, kalau aku atau ayahmu pernah menyakitimu. But, believe this. We always love you. Sejak dulu maupun sekarang. You're our precious daughter. Kami mencintaimu sebesar Amanda. Tak ada salah satu dari kalian yang lebih baik di mata kami. That's the truth."

Aku masih membisu. Namun, ada bagian di dalam diriku yang bergetar. Bagian yang selalu merindukan kalimat yang ibuku ucapkan. Bahwa dia juga mencintaiku sebesar Amanda. Pada akhirnya, aku membalas pelukan ibuku, meski tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari bibir. Di tengah sunyi yang menyelimuti, ada setitik kelegaan yang muncul dalam diriku. Rasa lega yang perlahan menyeruak, lalu mengikis cangkang yang selama ini membungkusku.

Lalu perlahan, aku mulai terisak. Seperti gadis kecil yang tersesat dan akhirnya menemukan jalan pulang. Aku memeluk ibuku lebih erat, masih mendekapnya tanpa kata. Hingga satu kalimat yang selama ini kutahan, akhirnya meluncur keluar dalam bentuk isakan pilu.

"I'm sorry. I'm so ... sorry."

"What you're sorry about? Kau tidak melakukan kesalahan apa pun."

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang