X(3)

551 45 8
                                    

"Wake up."

Setelah percintaan yang begitu intens, aku tentu tidak mengira akan dibangunkan dengan nada setegas itu. Seketika, kelopak mataku terbuka lebar. Aku berbaring telungkup, hanya dibalut selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku. Kutarik selimut tersebut sambil gelagapan, menyadari bahwa sejak tadi aku tidur dengan tubuh telanjangku yang terekspos bebas.

Butuh beberapa waktu hingga aku dapat menyesuaikan diri dengan sekitarku. Pagi hari. Kamar hotel. Percintaan panas. Mantan pacar. Penulis terkenal. Penulis yang seharusnya menghadiri acara book signing pagi ini. Juga tugas yang diberikan padaku. Mengambil buku bertanda tangan untuk hadiah saat acara. Tugas sederhana yang belum kuselesaikan.

Aku menarik lebih banyak selimut dengan panik. Berniat memakainya untuk melilit tubuh. Jerit tertahanku menggema saat aku berbalik untuk turun dari tempat tidur, dan menemukan Rafe yang telah berdandan rapi. Turtleneck hitam dan celana jeans berwarna senada, membalut tubuh jangkungnya. Kugenggam selimut lebih erat di depan dada, mendadak merasa terancam oleh kehadiran Rafe.

"Aku... harus pergi," ucapku terbata.

"Tidak. Ada yang harus kita bicarakan. A lot." Ketegasan dalam suara Rafe membuatku ciut.

"Setidaknya... biarkan aku mandi dan... berpakaian," tawarku.

"Kau tidak akan pergi ke mana-mana sebelum masalah ini diluruskan. You accused me for cheating. Itu tuduhan serius."

"Itu... itu masa lalu."

"That's right. Dan kau meninggalkanku karena itu. Ditch me like I am a bag of trash. Left me with a very big question for 5 fucking years. Why?"

Rafe marah. Tampak jelas dari sikap tubuhnya yang bersedekap kaku juga raut keras di wajahnya. Padahal, akulah pihak yang seharusnya marah.

"Kau pikir aku tidak tahu tentang perselingkuhanmu?" Nada bicaraku mulai meninggi. Aku tak lagi peduli bahwa aku telanjang di balik selimut yang membungkusku. Di atas tempat tidur di mana semalam aku baru saja bercinta dengan mantan pacarku. Sial!

Tuduhan yang kembali kulempar, mengikis kesabaran Rafe. Sedikit kesabaran yang tadinya dia miliki. Padahal semalam, dia mendekapku lembut. Bercinta dengan sepenuh hati. Saat ini, sikapnya seakan kemesraan kami semalam tidak berarti. Seharusnya aku tahu dia memang bisa berubah semudah itu. Sama seperti saat dia begitu mudah mengkhianatiku.

"You don't have proof." Rafe mengucapkannya dengan sangat lambat. Juga sorot berbahaya yang kini berkobar di matanya. Namun, aku tak lagi gentar. Sudah cukup aku menahan diri dulu. Aku tak akan lari darinya.

"Five years ago, I came to Oxford. To visit you. Surprise, huh?" Aku mengucapkan kata terakhir dengan nada mengejek ketika melihat raut terkejut Rafe. Kini, dia tak akan bisa mengelak.

"Aku menabung untuk membeli tiket dan memberimu kejutan. Saving my every penny, just to see you... Bastard. Guess what? Akulah yang mendapat kejutan. I came to your flat, just to meet a girl. Not you. Gadis yang memakai bajumu, tanpa pakaian dalam layak... "

"Oh... God. You've got to be kidding me!" Seruan Rafe mengagetkanku. Juga dirinya yang tiba-tiba berjongkok di lantai. Kepala Rafe tertunduk. Kedua tangannya menyisir rambut dengan gemas, nyaris menjambak.

Rasa khawatirku menyeruak. Jelas ini bukanlah reaksi yang kukira akan kuterima.

"Rafe.... " Aku menyebut namanya ragu karena Rafe belum juga berdiri maupun menatapku.

Piece of My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang