Meski sudah menduga, aku masih takjub ketika bibir kami bertemu. Kelopak mataku terbuka lebar. Pertanda dari rasa kagetku. Adam menekan bibirnya lembut. Menciumku dengan bibir terkatup rapat. Memberi kecupan demi kecupan ringan. Mataku terpejam perlahan. Menikmati buaiannya di seluruh bibirku.
Kepalan tanganku mengendur. Dengan sangat hati-hati, kutekankan telapak tanganku pada dadanya yang berkeringat. Adam memperdalam ciumannya, membawa tubuh kami makin mendekat. Dia membimbing tanganku agar melingkari lehernya, hingga tidak ada lagi jarak membentang di antara kami berdua.
Adam menekan punggungku, hingga tubuhku terdorong ke depan dan menempel pada dadanya. Eranganku tertahan di tenggorokan saat ciuman kami menjadi makin bergairah. Dia mengangkatku ke dalam pangkuan, menuntun kedua kakiku hingga melingkari pinggangnya. Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Begitu juga dirinya. Sebelum ini, kami hanya dua orang asing yang sering berpapasan. Saat ini, kami bercumbu seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda hasrat.
Cardigan-ku terlepas, memperlihatkan tanktop yang kini basah dan nyaris tidak menutupi apa pun. Adam melepas ciumannya, menjauhkan wajah sedikit agar dapat melihat tubuhku lebih jelas. Bahkan meski suasana di sekitar kami tidak terlalu terang, dapat kulihat iris matanya yang menggelap. Aku tidak yakin pernah melihat warna sehitam itu pada mata seseorang.
"Why are we doing this?" Pertanyaanku diwarnai getaran saat Adam memainkan ujung tanktop-ku. Kusilangkan kedua tangan untuk menutupi pakaianku yang tipis. Mendadak merasa malu di bawah tatapannya.
"Menurutmu kenapa?"
"Aku tidak tahu. Kau yang menciumku lebih dulu."
"Kau yang suka diam-diam memperhatikanku."
Wajahku panas saat dia mengingatkanku akan kenyataan tersebut. Tetes keringat menuruni leher hingga ke arah belahan dadaku yang tertutup sebagian. Tatapan Adam tidak lepas dari bulir-bulir basah tersebut. Mengikuti jejak yang terpeta pada kulitku.
"I feel hot."
"So am I."
"Maksudku bukan panas yang seperti itu...." elakku dengan tidak terlalu meyakinkan. "Di sini panas. Benar-benar panas. Kau membuatnya makin buruk...."
"How about I give you one chance to tell the truth?" Adam memotong cepat. Sepenuhnya mengabaikan protesku. "Berhentilah menyangkal."
"Aku ... aku tidak...."
"Satu kesempatan, Darla. Hanya satu."
Aku menggigit bibir. Berterus terang bukanlah kelebihanku. Dan kini, Adam menuntutku untuk melakukannya. Dia ingin mendengar pengakuanku.
"I ... I like you."
Bibir Adam melengkung ke atas. Dia kembali merapatkan tubuh kami. Kupeluk diri lebih erat ketika sadar bahwa dia akan kembali menciumku.
"Tapi ... tapi kurasa ... yang sedang kita lakukan saat ini bukan ide bagus."
"Because...." Adam sengaja menggantung kata itu di udara, mendorongku untuk menyelesaikan.
"Aku tidak benar-benar mengenalmu."
Tampaknya, alasan yang kukemukakan bukan masalah bagi dirinya. Adam kembali meraih tanganku, meletakkan keduanya pada bahunya yang terbuka.
"I'm your prince. That's enough for now."
Ciumannya kali ini lebih bergairah. Tidak lagi sopan di awal. Aku merintih, oleh rasa nikmat yang menderaku selain karena pagutan bertubinya di bibirku. Kuketatkan pelukanku di lehernya. Adam merengkuhku, kuat. Menjalarkan jemarinya di sepanjang tulang belakangku. Mengirim gelenyar menyenangkan pada pusat tubuhku. Ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Saling memagut bibir dengan pria asing, di tempat sempit dan panas yang seharusnya membuatku takut. Membiarkan dia menyentuhku di tempat-tempat yang intim.