33. Bergabungnya Rekan Baru

22 8 15
                                    

Sementara itu, di luar angkasa yang gelap, bintang-bintang berkelap-kelip seakan menari di kehampaan, mewarnai setitik cahaya dalam kegelapan bagai butiran pasir. Di permukaan dingin dan tandus sebuah satelit yang mengorbit suatu dunia, terdapat seorang wanita dengan penampilan anggun duduk dengan tenang.

Wanita itu duduk di atas kursi megah, tampak seperti singgasana yang terbuat dari material yang tak bisa dijelaskan oleh pikiran biasa—kokoh, berkilau, dan misterius. Tatapannya tidak pernah lepas dari sebuah dunia yang jauh di depan matanya, seolah-olah dia sedang mengamati sesuatu yang sedang terjadi di dunia itu dengan sebuah rencana dan tipu daya.

Di sisi wanita itu, sebuah cahaya tak berwujud melayang dengan tenang, hampir seperti entitas yang ada namun tak terlihat, yang selalu menemaninya dalam keheningan. Kilauan emas tersebut begitu lembut, bagai bentuk murni dari sebuah cahaya ilahi.

"Fufufu~"

Wanita anggun itu tertawa kecil, bergema lembut dalam kesunyian kosmik, sementara matanya yang tajam masih menatap sebuah dunia di kejauhan. Senyumannya begitu lembut namun seperti memiliki makna tersembunyi.

"Jadi begitu~ Siapa sangka dia yang selalu bertindak di luar logika, ternyata memiliki sudut pandang yang unik."

Setiap gerakan tangannya yang anggun, meninggalkan partikel cahaya yang lembut, melayang sementara dan menghilang dalam sekejap.

"Michaela." Wanita itu seperti sedang memanggil entitas cahaya yang ada di sisinya. "Sebagai perwujudan dari keadilan, apa kamu setuju dengan prinsip orang itu?"

Meskipun dia hanya sebuah cahaya, yang abstrak tak memiliki wujud, tanpa diduga dia mampu bersuara seperti makhluk hidup pada umumnya.

"Tidak." Suara dari cahaya itu sangat lembut, bagai melodi indah yang bergema di keheningan angkasa. "Bagi saya, kebenaran bukanlah sesuatu yang harus dipaksa keluar dari reruntuhan dunia, tetapi sesuatu yang harus ditemukan melalui kebijaksanaan, keberanian, dan kehendak bebas. Kehancuran hanya menghapus kesempatan bagi makhluk untuk menemukan maknanya sendiri."

Wanita itu kembali tertawa kecil, tersenyum lembut seraya menyilangkan kaki. "Fufufu~ Benar-benar bertolak belakang, ya?"

Kemudian, sebuah senyuman yang penuh arti menghiasi wajah wanita tersebut, seolah dia baru membentuk suatu niat baru. "Bagaimana... kalau kita taruhan? Seandainya dia berhasil mengakhiri drama ini sesuai keinginanku, ikutlah bersamanya menjadi aktor dari drama selanjutnya."

"Tak perlu ragu, Michaela. Apa kamu tahu? Dia adalah singularity yang tidak terikat oleh variabel, bagai sebuah anomali yang tak diinginkan oleh takdir. Dengan pion yang indah seperti kamu dan dia, aku yakin ... drama dari papan catur ilahi akan berjalan menarik."

Tidak ada jawaban dari cahaya itu. Walaupun tak memiliki wujud, cahaya tersebut seolah sedang seperti ... berpikir dan terdiam seribu bahasa dalam kehampaan.

*** *** ***

Matahari hampir tenggelam di cakrawala, memancarkan warna jingga keemasan yang mewarnai langit ibu kota kekaisaran. Di antara bayang-bayang bangunan megah dan keramaian jalanan, Eliza dan Naomi melangkah berdampingan.

Suasana kota yang padat dipenuhi suara obrolan riuh penduduk, namun Eliza tetap diam dalam kesunyian batinnya, ekspresi dingin tanpa cela terpahat di wajahnya, seakan tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk di sekitarnya.

Di sampingnya, Naomi berjalan dengan penuh keceriaan, matanya berkilauan menatap sekeliling. Dengan senyum lebar, dia melambai ke arah siapa saja yang menyapanya. Tak ada satu pun yang luput dari sambutannya, dan sebagian besar penduduk membalas lambaian itu dengan penuh antusias.

World Destruction I : Initium ViaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang