46. Realitas Hampir Runtuh

28 6 20
                                    

Di tengah kerumunan elf yang berlari mendekat, suasana hutan kecil itu seketika berubah menjadi penuh kehangatan. Beberapa elf menangis, tidak dapat menahan luapan perasaan yang telah terkubur ribuan tahun.

Mereka memeluk Eliza dengan erat, seolah memastikan bahwa sosok ini benar-benar nyata, bukan sekadar bayangan yang mereka kenang. Sementara itu, nama "Nona Perak" terus terucap dari mulut mereka, menggema di antara pepohonan dengan suara penuh keharuan.

Beberapa di antaranya ada yang menarik pipi Eliza dengan lembut, ada pula yang menggenggam tangannya erat, seakan takut kehilangan lagi.

Di sisi lain, Eliza yang mendapatkan perlakuan hangat hanya diam tak bergeming. Wajahnya justru tetap datar, mata merahnya menatap kosong tanpa ada kilauan emosi yang terlihat. Tidak ada senyum, tidak ada tanggapan, seolah semua pelukan hangat, air mata, dan teriakan rindu itu hanya sekadar angin yang berlalu di hadapannya.

Sementara para elf mencurahkan perasaan mereka, Eliza tetap seperti boneka yang eskpresi datarnya tidak dapat diubah, menatap kosong ke depan tanpa sedikit pun adanya reaksi yang dia berikan.

~~~

Beberapa saat kemudian, mungkin sekitar 30 menit dari kehebohan yang sebelumnya terjadi, suasana kini begitu tenang di dalam sebuah ruangan sederhana.

Segala macam parabotan di dalam ruangan terbuat dari kayu yang kokoh, begitu sederhana namun kebersihannya sangat terjaga. Lima elf yang dikenal sebagai Tetua, mungkin sebutan untuk petinggi dari spesies elf, duduk dengan tenang di kursi kayu bersama Eliza.

Para Tetua Elf terus menatap Eliza dengan penuh kehangatan. Beberapa di antaranya tampak begitu gemas melihat Eliza, seolah belum merasa cukup mengutarakan kerinduan mereka. Sementara Emiel, yang mungkin dia juga bagian dari Tetua Elf, segera berdehem untuk mengalih perhatian.

"Bagaimana kalau kita sudahi momen reuni ini," kata Emiel dengan tegas, membuat para Tetua lain menoleh ke arahnya dengan wajah cemberut.

"Kenapa kau buru-buru sekali?" tanya pria elf yang mengenakan topi besar, lalu bola matanya beralih pada Eliza. "Nona Perak pun tidak keberatan, kan?"

Tanpa mengubah ekspresi yang biasanya, Eliza membalas, "Tidak. Ada suatu hal yang harus aku lakukan. Kedatanganku bukan semata-mata untuk bernostalgia."

Kata-kata itu terlepas begitu saja, membuat suasana yang tadinya penuh kehangatan mendadak dingin. Para Tetua saling berpandangan dengan raut terkejut dan bingung. Mereka tak menyangka, Eliza yang dahulu mereka kenal sangat dekat, kini seperti telah berubah. Semua kerinduan dan rasa hormat yang mereka tunjukkan seolah tak berarti apa-apa di mata Eliza.

"I-iya," balas wanita elf berambut putih yang bernama Lenesia. "Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting, ya?"

Tanpa memiliki niat untuk basa-basi, Eliza segera mengalihkan pembicaraan pada inti yang dia inginkan.

"Sedikit banyaknya aku sudah mendengar perkembangan dunia ini dari orang itu." Eliza menunjuk Emiel. "Tapi, itu masih belum cukup untuk menjadi petunjuk. Katakan padaku, apa yang telah terjadi pada kalian?"

Sejenak, suasana begitu hening diselemuti kebingungan. Rasa terkejut masih menyelinap dalam benak mereka, melihat Eliza yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Mereka pun mulai menyadari, bahwa Eliza yang dahulu mereka kenal, kini telah berubah.

Setelah beberapa saat tidak ada tanggapan, Tetua yang mengenakan kacamata segera bersuara memecah keheningan. "Baiklah kalau begitu, informasi seperti apa yang Anda harapkan dari kami?"

Sebelum Eliza sempat menjawab, Lenesia tiba-tiba berteriak pada rekannya, "Tunggu! Kamu yakin mau—"

"Katakan saja, aku tidak peduli," potong Eliza dengan nada dingin. Dia tahu kalau Lenesia merasa ragu untuk mengungkapkan kebenaran, karena takut menyakiti dirinya.

World Destruction I : Initium ViaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang