Burung-burung bernyanyi di tengah hutan yang lebat. Angin sepoi-sepoi, meniup lembut daun-daun yang berguguran. Jalan bebatuan yang sempit menjulang panjang seolah membelah hutan menjadi dua bagian.
Suasana begitu tenang di bawah terik matahari yang panas. Namun, ketenangan ini perlahan memudar ketika Violatte mulai merengek dengan wajah cemberut.
"Hei, kapan kita istirahat? Aku laparrr..." Violatte mengusap perut kecilnya yang kelaparan dengan wajah memelas.
Di depan Violatte, Nameless terus melangkah menelusuri jalan yang sempit sembari kedua tangan bertemu di depan. Dia tetap diam seolah tak acuh dengan keluhan Violatte.
"Hei... mau sampai kapan kita terus jalan?" tanya Violatte kembali sambil mempercepat langkahnya dan berjalan di samping Nameless.
Bola mata Viollate yang sayu menatap wajah Nameless dalam-dalam. Dia menarik gaun hitam Nameless yang menutup lengan kirinya untuk menarik perhatiannya. Meski berulang kali Violatte memanggilnya, Nameless yang selalu menutup mata itu tetap diam tanpa suara seolah sedang menikmati perjalanan.
Sejak kedua pilar iblis ini tiba di dunia ini, mereka sama sekali belum menghentikan perjalanan mereka. Bahkan, mereka belum sempat memakan apapun di dunia ini. Nameless dan Violatte terus melangkah tanpa henti, seolah-olah mereka memiliki tujuan yang tidak pernah jelas.
Violatte, yang semakin kelaparan dan kesal, dia kembali mengeluh, "Oh, ayolaa. Aku benar-benar lapar. Minimal jangan jalan terus kaya gini. Kenapa kamu terus melarang kita pakai teleportasi di dunia ini?"
Meskipun Violatte terus mengeluh, Nameless tetap melangkah dengan tenang. Ekspresinya pun tidak berubah. Dia tampak tidak peduli dengan keluhan Violatte.
"Hei... jaw—" Ucapan Violatte tiba-tiba terhenti ketika melihat Nameless yang menghentikan langkah kakinya.
Violatte pun ikut menghentikan langkahnya, berdiri di hadapan Nameless dengan sebuah senyuman di wajah. Mungkin, Violatte merasa kalau Nameless akhirnya mau mendengarkan keluhannya itu.
"Nah, gitu dong! Kukira selain engga punya mata, kamu juga engga punya kuping," sindir Violatte sambil bertolak pinggang.
Meskipun langkah Nameless telah berhenti, namun masih tidak ada yang berubah dari ekspresinya itu. Dia tetap diam tanpa ekspresi dengan kedua matanya yang selalu tertutup rapat. Menyadari ada sesuatu yang aneh dari Nameless, Violatte segera bertanya, "Hmm? Oi~ kamu kenapa?"
"Jangan-jangan kamu tidur sambil jalan?!" tanya kembali Violatte sembarangan.
Setelah sekian lama Nameless tak bersuara, pada akhirnya dia mau membuka mulut untuk pertama kalinya. "Vio, menurutmu sudah berapa lama kita berjalan?"
Dengan suara yang mencerminkan rasa sebal, Violatte langsung menjawab, "Tiga hari, lah! Kita udah tiga hari jalan kaki, tanpa makan, minum, tidur, buang air kecil, buang air be—."
Sebelum Violatte menyelesaikan ucapannya, Nameless tiba-tiba menyela. "Selama perjalanan ini, apa kamu menyadari sesuatu?"
Sejenak, Violatte menggelengkan kepala beberapa kali sambil mengusap perutnya. "Engga. Yang aku tau kalau perutku semakin mengecil."
Mendengar jawaban Violatte yang sembarangan, membuat Nameless menghela napas dengan sedikit adanya emosi. Lalu, Nameless mulai mengungkapkan alasannya yang terus melangkah tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
World Destruction I : Initium Viae
FantasiaAlam semesta adalah panggung sandiwara dari segala penciptaan. Segala sesuatunya saling terhubung membentuk sebuah harmoni yang seimbang. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas terus terjatuh ke dalam simfoni yang salah. Para Dimensional Being...