49. Masa lalu: Kelahiran Lazion

16 6 5
                                    

Pada malam harinya, suasana desa berubah dari hiruk-pikuk pertempuran menjadi perayaan sederhana namun meriah. Api unggun besar dinyalakan di tengah alun-alun, cahayanya yang hangat menerangi wajah-wajah yang letih namun penuh dengan kebahagiaan.

Para prajurit duduk melingkar, menikmati makanan yang disediakan dengan rasa syukur mendalam. Beberapa prajurit di antaranya saling menceritakan kisah-kisah mereka di medan perang, dengan penuh semangat dan tawa. Setiap cerita, baik yang serius maupun yang jenaka, disambut sorakan dari para pendengar, menunjukan kebersamaan yang kian erat.

Canda, tawa, sorak kemenangan, terus bergema memenuhi langit malam. Mereka bersatu dalam harmoni yang indah, tanpa peduli dari spesies apa mereka berasal. Gelas kayu pun diangkat, setiap tawa yang terdengar adalah ungkapan rasa syukur mereka karena masih dapat menikmati hidup lebih lama.

Di dekat api unggun, anak-anak berlarian dengan tertawa ceria, seolah-olah beban pertempuran siang tadi tak pernah ada. Mereka bermain dengan tongkat-tongkat kayu, meniru aksi para pejuang dengan imajinasi yang menggelitik.

Sementara itu, di dalam aula, para penyembuh dengan cekatan membalut luka-luka para prajurit yang masih terbaring lemah. Sihir pemulihan dan ramuan herbal mereka gunakan untuk menyembuhkan luka-luka yang parah.

Meskipun tubuh mereka masih diliputi rasa sakit, senyuman bangga tak pernah hilang dari wajah para prajurit—mereka tahu apa yang mereka raih adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Dan kini, mereka bisa beristirahat dengan perasaan lega dan penuh kemenangan.

Malam yang sederhana itu, meski tanpa kemewahan, terasa begitu bermakna. Kemenangan tidak hanya dirayakan dengan sorak-sorai, tetapi dengan kehangatan persahabatan, kebersamaan, dan rasa syukur atas kehidupan yang masih ada. Di bawah naungan langit malam, mereka menemukan kedamaian dan harapan baru, seolah malam itu menghapus segala duka yang sempat mereka rasakan.

Dari kejauhan, Eliza dan Shion duduk di sebuah bangku panjang, memperhatikan perayaan di hadapan mereka dengan senyuman terlukis di wajah. Kedua iblis ini sangat memahami perasaan orang-orang di sana—perasaan lega dan bahagia yang muncul setelah berhasil bertahan hidup dari pertempuran yang mengerikan.

Mereka tahu betul rasa takut akan kehancuran, karena di dunia mereka sendiri, konflik serupa tak henti-hentinya terjadi. Oleh sebab itu, mereka pun ikut merasakan kedekatan para pejuang di sana, dan memahami betapa berharganya momen-momen di mana mereka bisa menikmati kedamaian meski hanya sesaat.

"Fufu~ Aku jadi teringat saat kita berhasil mengusir malaikat," celetuk Eliza sambil tangan kanan menopang wajah. "Setiap keberhasilan kita, pasti selalu berpesta seperti itu."

Shion mengangguk lembut, bola matanya terpejam sejenak sebelum tersenyum hangat. "Yaa~ tapi sayangnya ... kedamaian seperti ini selalu terasa seperti ilusi sesaat, untuk menenangkan pikiran sebelum badai berikutnya datang. Kebahagiaan pun sering kali tidak lebih dari pelarian, untuk melupakan apa yang akan datang esok hari."

Shion membuka matanya, melihat ke arah para pejuang yang masih bersorak riang, lalu melanjutkan, "Tapi... mungkin itu juga yang membuatnya begitu berharga. Meski kita tahu kedamaian ini rapuh, kita tetap bisa menikmatinya, walaupun hanya sebentar."

Eliza menatap langit yang dipenuhi bintang, mata merahnya berkilau di bawah cahaya malam. "Ya, mungkin itu cara kita semua bertahan... mencari secuil kebahagiaan di tengah kegelapan yang tak berujung."

Sejenak, Eliza terdiam dengan senyuman memudar. "Hei, Shion," panggil Eliza sambil menatap bulan purnama di langit. "Seandainya mereka tahu bahwa takdir kehancuran dunia ini tidak dapat diubah, tanpa adanya kedamaian untuk hidup nyaman, apakah mereka ... akan menyerah, dan merasa sia-sia untuk terus berjuang?"

World Destruction I : Initium ViaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang