Pertarungan antara Violatte dan Elmesia terus berlangsung dengan intensitas yang semakin meningkat. Keduanya tampak tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Medan pertempuran yang sebelumnya sudah dipenuhi kehancuran kini berubah semakin suram.
Puluhan tumbuhan raksasa, dengan batang sebesar gedung-gedung, tumbuh menjulang dari tanah yang retak dan terbakar. Daun-daun mereka menghitam, seakan menyerap kegelapan di sekitarnya, sementara akar-akar mereka yang tajam menyebar liar, menghancurkan apa pun yang mereka sentuh.
Suara benturan antara kekuatan sihir dan elemen-elemen alam terus terdengar, menggema di langit mulai menggelap. Setiap serangan yang dilontarkan oleh Violatte membawa kehancuran dahsyat, namun Elmesia dengan kekuatan alaminya yang luar biasa, membalas dengan menciptakan kehidupan dari kematian yang dia tinggalkan.
Setiap langkah Violatte dan Elmesia mengguncang bumi, setiap serangan membawa perubahan di lanskap sekitarnya. Pertarungan mereka pun semakin meluas hingga berdampak hebat pada desa terpencil yang berjarak lima kilometer dari medan pertempuran awal—Kuil Dewi Bulan.
"Oi oi, mau sampai kapan? Ini udah satu lewat satu jam loh! Perjanjiannya kan cuma 10 menit!" Violatte berteriak dari atas langit, melayang dengan tenang seraya bertolak pinggang.
Tidak seperti Violatte yang tampak sangat bugar, Elmesia terlihat sangat kusut dan berantakan. Jubah putihnya compang-camping, memperlihatkan sebagian besar tubuhnya yang tak layak untuk ditunjukan.
Darah mengalir deras di beberapa bagian tubuh Elmesia, dengan luka berat yang menodai kulit putihnya. Dia berdiri kaku, napasnya terengah-engah seakan dia telah kehilangan banyak tenaga.
"Ayolah, mau sampai kapan ini?" sambung Violatte setelah tak ada jawaban dari Elmesia, hanya terdengar hembusan napas yang berat dari elf berambut hijau itu.
"Be-berisik..." Suara Elmesia bergetar, hampir sulit terdengar di tengah napasnya yang terengah-engah. "Be-beri aku waktu 10 menit lagi. Aku harus ... membunuhmu."
Sejenak, Violatte menghela napas sebal sebelum berkata. "Dari tadi gitu mulu. Kamu yang seenaknya mengubah peraturan, tapi kamu sendiri yang melanggar. Udah ah, engga ada toleransi! Pokoknya aku akhiri sekarang juga."
Dengan kecepatan yang melampaui suara, Violatte melesat melalui udara menuju utara. Dalam sekejap, dia tiba di bekas medan pertempuran yang telah luluh lantak—halaman Kuil Dewi Bulan yang kini gersang, penuh dengan sisa-sisa kehancuran. Udara di sekitar terasa dingin dan sunyi, hanya menyisakan jejak pertarungan sengit yang pernah terjadi di sana.
Di depan matanya, sebuah kubah keemasan tipis masih berdiri, melindungi kuil yang menempel di sisi bukit. Meski medan perang di sekitarnya hancur, kubah itu tetap tegak, menjaga sisa pasukan yang tersembunyi di dalamnya.
Prajurit-prajurit yang sedang beristirahat, mengobati luka-luka, seketika tersentak oleh kehadiran Violatte yang tiba-tiba muncul di luar kubah. Secara serentak, mereka pun segera bangkit, dan mengambil kembali persenjataan mereka.
Violatte menjentikan jari seraya tersenyum lebar. Kemudian, sebuah kubah pelindung baru yang berlapis-lapis muncul, menyelimuti kuil dan bukit yang berusaha mereka lindungi. Seluruh manusia yang tersisa di medan perempuran memandang sihir pelindung baru itu dalam kebingungan dan perasaan kacau.
Tak hanya itu, di tengah kebisingan dari para prajurit, raja Gainsword dan Raja Brigham tiba-tiba dikelilingi oleh lapisan pelindung baru. Sebuah perisai sihir berwarna biru, setipis kaca namun begitu kuat, muncul di sekitar mereka, memisahkan mereka dari pasukan lainnya. Dari ratusan prajurit yang tersisa, hanya kedua raja yang mendapatkan perlindungan khusus itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
World Destruction I : Initium Viae
FantasyAlam semesta adalah panggung sandiwara dari segala penciptaan. Segala sesuatunya saling terhubung membentuk sebuah harmoni yang seimbang. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas terus terjatuh ke dalam simfoni yang salah. Para Dimensional Being...