Dari 89 pengikut Eliza dan Shion, hampir sekitar 50 lainnya—termasuk pria, wanita, hingga remaja—telah bersiap di baris terdepan untuk menghadapi serangan makhluk kosmik. Baik manusia dan elf, mereka berdiri berdampingan dalam satu barisan, bersatu tanpa membedakan spesies mereka.
Senjata mengkilap mereka genggam dengan erat, namun di balik genggaman itu, tampak jelas bahwa sebagian dari mereka bergetar ketakutan. Wajah mereka tak dapat menyembunyikan ketakutan dan keraguan, merasa tak yakin apakah mereka benar-benar bisa bertahan dalam pertempuran ini.
Di kejauhan, makhluk-makhluk kosmik yang mendekat terlihat semakin jelas. Tubuh mereka yang menjulang hingga tiga meter tampak menyeramkan, dengan kulit berwarna hitam kebiruan yang kasar seperti batu karang. Mereka memiliki cakar besar dan mata bersinar merah. Setiap langkah mereka mengguncang tanah, dan suara gemuruh dari derap kaki mereka seperti tanda kiamat yang semakin mendekat.
Sementara itu, Shion yang melayang di atas langit, memperhatikan kegelisahan di antara orang-orang di bawahnya. Dia dapat merasakan keraguan mereka dari raut wajah yang dipenuhi kecemasan.
Salah satu manusia di barisan depan, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh, bergumam pelan dengan keringat dingin membasahi pipi, "Apa kita... bisa mengalahkan mereka?"
Meskipun gumaman itu sangat lemah, eskpresi Shion tiba-tiba berubah, seolah dia dapat mendengar gumaman tersebut. Dengan cepat, dia menurunkan ketinggian, lalu berteriak untuk menarik perhatian mereka semua.
"Kalian dengar aku, kan?" teriaknya dengan suara yang menggelegar, membuat setiap orang di bawahnya menoleh.
"Dengar baik-baik, semuanya! Kalian berdiri di sini bukan untuk mengantarkan nyawa, tapi kalian berdiri di sini untuk melindungi mereka yang kalian cintai! Pandanglah ke depan bukan dengan rasa takut, tapi dengan keyakinan bahwa kalian bisa bertahan!"
Dia berhenti sejenak, melihat mereka semua yang mulai menegakkan kepala, lalu melanjutkan, "Aku tidak akan membiarkan kalian mati di sini! Kalian tak diizinkan mati! Berdirilah teguh, kerahkan segala kekuatan kalian, karena selama aku ada di sini, kalian tidak sendirian! Bertarunglah bukan demi kemenangan, tapi demi kehidupan yang menanti kalian setelah ini!"
Kemudian, Shion mengangkat pedangnya yang bersemayam di dalam sarung hitam. "Aku berjanji, setiap tetes keringat kalian akan berbuah hasil. Dan aku bersumpah, atas nama pedangku, aku tidak akan membiarkan kalian mati! Giura!"
Suara Shion yang tegas dan kuat membuat jantung setiap orang yang mendengarnya berdebar kencang. Rasa takut yang sebelumnya menghantui mereka mulai menghilang, digantikan oleh tekad yang baru. Mereka memandang satu sama lain dengan lebih yakin, mengeratkan genggaman mereka pada senjata, dan bersiap menghadapi musuh yang semakin mendekat.
Tak hanya di barisan pertahanan, kata-kata penuh tekad dari Shion juga menggema hingga ke pemukiman warga. Mereka yang tidak memiliki keterampilan bertempur, hanya bisa menyaksikan dengan cemas, namun kini rasa takut yang sempat melumpuhkan mereka perlahan sirna. Harapan mulai menyala di hati mereka, seakan terhubung dengan semangat yang baru saja Shion tanamkan.
Anak-anak, orang tua, dan para wanita yang bersembunyi di dalam rumah mengintip dengan tegang dari jendela. Meski tak memegang senjata, mereka merasakan getaran yang sama—keinginan untuk bertahan, untuk hidup, untuk melindungi apa yang mereka cintai.
Di sisi lain, Eliza yang berdiri jauh di belakang, tersenyum tipis melihat bagaimana ucapan Shion membangkitkan semangat mereka. "Hoo~ takku sangka anak itu sampai menggunakan sumpah tersebut," gumam Eliza sambil menyilangkan kedua tangan di dada.
Di sisi Eliza, Lenesia si wanita elf berambut putih, tampak begitu cemas menatap punggung-punggung para pejuang yang berbaris rapih. Setelah mendengar gumaman kecil Eliza yang disertai senyuman tipis, Lenesia menoleh pada Eliza. "Nona Perak, apa semuanya ... akan baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh kecemasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
World Destruction I : Initium Viae
FantasyAlam semesta adalah panggung sandiwara dari segala penciptaan. Segala sesuatunya saling terhubung membentuk sebuah harmoni yang seimbang. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas terus terjatuh ke dalam simfoni yang salah. Para Dimensional Being...