Chapter 21

1.8K 168 2
                                    

"Do? Lu gak istirahat?" Tanya Ikhsan dari balik pintu ruangan panitia sambil mengucek matanya.

Sedari tadi Valdo hanya duduk di depan ruangan dimana di dalamnya ada peserta Diklat yang tendanya tidak bisa ditempati. Mendengar suara Ikhsan, Valdo langsung menoleh,

"Santai, gue istirahat disini aja" Ucapnya sambil mengangkat satu jempol yang disambut anggukan oleh Ikhsan yang langsung menutup pintunya.

Valdo duduk di bangku yang terbuat dari anyaman bambu, punggungnya bersandar miring dan dua kakinya diangkat sehingga bertopang di atas meja yang juga terbuat dari bambu.

Ia tidak peduli dengan lantai yang sudah kotor karena abu rokok yang berjatuhan saat benda kecil itu dijentikkan di antara jari tangannya.

Udara dingin kali ini semakin menusuk, baginya tidak ada yang lebih tepat yang bisa ia lakukan kali ini selain menghisap beberapa batang rokok untuk menghangatkan suhu tubuhnya sekaligus merilekskan pikirannya yang sudah kelewat semrawut.

Mulutnya dengan mahir menghisap sebatang rokok yang diapit di antara bibirnya, sambil menatap ke depan, ia bisa menikmati pemandangan seadanya, dataran yang bertingkat, tenda yang gelap dan kelap kelip lampu yang berjarak beberapa puluh kilometer dari tempatnya berada.

Sebenarnya Valdo bukan perokok yang kecanduan, ia hanya melakukan ini saat dirasa butuh untuk menjernihkan pikirannya saja. Ia juga kadang melakukan hal ini dengan Jevin, adiknya di balkon rumah.

Ia memantikkan korek gasnya sehingga ada api kecil yang menyembul keluar, ia arahkan korek itu pada rokok yang belum menyala. Satu batang lagi, janjinya dalam hati.

Valdo melempar koreknya ke meja setelah rokoknya menyala. Ia menghembuskan nafas dari mulutnya sehingga ia bisa melihat asap putih yang berhembus keluar.

Tangannya merogoh saku jaket yang sedang ia kenakan, tidak ada sinyal sama sekali dan itu membuatnya mati kutu. Tangannya terus meng-scroll layar berbentuk persegi panjang itu, mencari-cari aplikasi yang bisa ia gunakan tanpa harus mengandalkan sinyal.

Ia sedikit menyesal karena tidak mengikuti saran adiknya yang menyuruhnya untuk mendownload game di ponselnya, setidaknya game yang menurutnya aneh bisa sangat berguna di saat-saat seperti ini.

Tapi apalah daya, ponselnya terlalu kosong, ia terus meng-scroll sampai ia menemukan apa yang bisa ia lakukan dengan ponselnya setelah melihat logo gallery di pojok kanan atas pada tampilan ponselnya.

Sementara di dalam ruangan..

Tubuh Bintang sudah menggigil sejak setengah jam lalu, ia terus memeluk tubuhnya sendiri tapi itu tidak cukup membantu. Ia tidak mau jika harus mereportkan Oliv yang sedang tertidur pulas atau mungkin membangunkan yang lainnya, Bintang paham mereka sudah kelelahan, ditambah satu jam lagi akan agenda selanjutnya yang harus dijalani.

Bibirnya bergetar hebat, tanpa harus bercermin pun ia tau wajahnya pasti sudah pucat sekali. Ia memang tidak kuat dengan udara dingin, dan bodohnya ia malah memakai sweater yang jelas-jelas masih agak basah setelah terkena hujan tadi sore.

Tapi mau bagaimana lagi? hanya ini sweater yang satu-satunya ia bawa jadi mau tidak mau, ia tetap memakainya sambil berharap sweaternya itu bisa cepat kering walau nyatanya hal itu mustahil terjadi mengingat udara disini tidak panas sama sekali.

Bintang memejamkan matanya erat, menahan rasa ngilu saat udara dingin menusuk sampai ke tulangnya. Ia kini berhasil duduk dengan posisi kaki yang ditekuk, tangannya dengan erat melingkar diantara kakinya.

sesekali ia menggosok telapak tangannya kemudia meniup dan menaruhnya di antara kedua pipinya.

Tapi kondisi malah semakin memburuk, giginya bergemerutuk dan mengeluarkan suara gesekan gigi yang ia rasa bisa mengganggu orang-orang disampingnya.

BOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang