Chapter 57-1

1.4K 127 7
                                    

a/n:

ini cuma sub-chapter yaaa jadinya pendek. gatau kenapa otak gue suka mendadak tersumbat pas mau nulis wkwk. semoga menghiburrr nih.

p.s promosi dikit, check my new story yaaa judulnya Vlacacia. kenalan sama cowok ganteng, cuek dan nyebelin disana :p

Moza melangkahkan kaki di koridor sekolah, belum banyak yang datang pagi ini dan Moza memang sengaja berangkat pagi demi menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti di lontarkan murid yang ia kenali padanya. Tidak heran, beberapa minggu tidak masuk sekolah, Moza pasti sudah ketinggalan banyak terutama dalam materi pelajaran.

Beberapa puluh anak tangga sudah dinaiki. Dan sampailah ia di depan kelasnya. Melongok sekilas, Moza tidak menemukan siapapun disini. Baguslah. Rasanya merasa sedikit asing, tidak bertemu teman-temannya, tidak bertemu Jevin pula.

Bahkan Moza sempat memperhatikan meja yang biasa ditempati Jevin. Rasanya aneh, ingin bertemu tapi keadaan sudah tidak seperti dulu. Moza akhirnya mendaratkan bokongnya di bangku yang biasa ia tempati. Ia langsung merogoh tas dan mengambil headset dan ponselnya. Sembari menunggu bel berbunyi, tidak ada salahnya untuk membunuh waktu dengan mendengarkan lagu.

Playlist berisi lagu-lagu Kodaline mulai mengalun, lagi-lagi Moza meresapi setiap lirik lagu-lagunya. Tidak beda jauh seperti cerita cintanya. Dengan malas, ia menyandarkan kepala di atas lipatan tangannya di meja. Setengah bagian wajahnya tertutupi rambut yang terurai dan tidak butuh waktu lama hingga Moza akhirnya terlelap.

Oke, ini masih pagi tapi rasa kantuk masih mendera Moza, mengingat selama semalam suntuk ia tidak bisa tertidur. Akhir-akhir ini Moza memang terkena insomnia.

Dua orang temannya baru masuk ke kelas, namun sedetik kemudian keluar lagi setelah menaruh tas di mejanya. Hampir bersamaaan dengan itu, Jevin baru melempar tasnya sementara ia berdiri di ambang pintu mengingat jarak mejanya dan pintu kelas begitu dekat.

Niat Jevin untuk langsung meninggalkan kelas langsung sirna saat matanya menangkap sosok yang sudah tidak ia lihat selama beberapa minggu terakhir, sosok yang sangat Jevin rindukan. Jevin memberanikan diri untuk melangkah mendekati meja Moza, gadis itu tetap bergeming, punggungnya bergerak naik turun dengan ritme yang teratur.

Sambil mengatur nafasnya, Jevin mencoba duduk di samping Moza, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, agar tidur Moza tidak terganggu. Melirik ke sekitar, beberapa temannya yang baru memasuki kelas hanya bisa menatap Jevin heran. Namun Jevin sekalipun tidak terlihat terusik dan tenang-tenang saja.

Kalau saja ia bisa memeluk Moza saat ini, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa Jevin sebenarnya selalu ada bersama Moza. Jevin tau, tidak mudah bagi Moza melewati semua ini sendiri. Dan dengan berengseknya Jevin telah membiarkan semuanya ini terjadi pada orang yang ia sayang.

Tangan Jevin terangkat, mencoba mengusap kepala Moza dan rambut panjangnya. Mungkin hanya ini yang bisa Jevin lakukan untuk sekarang.

Moza sedikit bergerak dan itu membuat Jevin langsung menjauhkan tangan dari kepala Moza. Khawatir takut Moza tiba-tiba bangun, maka Jevin langsung beranjak dan pergi keluar kelas meninggalkan Moza.

Apakah semuanya akan kembali seperti dulu, seperti saat pertama kali Jevin berharap suatu saat Moza bisa menjadi miliknya?

--

Sejak pagi mood Moza memang tidak dalam keadaan baik. Entah perasaan kesal ini harus ia pelihara atau tidak, yang jelas Moza merasa kecewa saat Oliv bilang bahwa Bintang tahu kalau Oliv punya perasaan pada Jevin, Moza tau semuanya berkat jurnal itu. Moza terus berpikir kenapa Bintang saja yang tahu dan kenapa Bintang tidak memberitahu Moza tentang hal itu?

Moza memasukan ponsel ke sakunya dan langsung beranjak keluar kelas persis saat bel istirahat berdering dan guru mereka baru keluar kelas. Tidak peduli lagi dengan tatapan teman-teman kelasnya serta pertanyaan yang ditujukan pada dirinya. Moza melirik Jevin dari ekor matanya, cowok itu sudah kepergok beberapa kali menoleh ke arah Moza saat pelajaran berlangsung dan entah kenapa Moza merasa risih.

Moza hanya mau bertemu Bintang.

Tidak butuh waktu lama saat Moza menghampiri Bintang di kelas. Bagus, saat teman sekelas Bintang hampir sebagian besar sudah keluar kelas. Hanya beberapa saja yang masih betah berada di kelas. Hati Moza mencelos, melihat bangku di samping Bintang kosong, tidak ada lagi Oliv disana.

"Bintang," Sapa Moza dingin. Bitang yang sedang fokus dengn novelnya langsung mendongak. Rahangnya hampir copot melihat siapa yang duduk di sampingnya sekarang. Bintang sudah lama tidak bertemu Moza dan ia rindu gadis itu. Bintang merasa ada yang kurang saat ia tidak lagi pergi ke kantin dan tempat lainnya bersama dua sahabatnya. Dan kini Moza, berada di sampingnya.

Bersorak kegirangan, Bintang langsung memeluk Moza erat. Namun sayang, Moza sama sekali tidak membalas pelukan itu.

"Zaaa, gue kangen banget, sumpah," sambut Bintang histeris. Bahkan ia belum sadar raut datar dan perilaku dingin dari Moza.

"Kenapa lo tutup-tutupin semuanya sih dari gue?" Tembak Moza langsung tanpa basa-basi lagi. sudah cukup Moza dihantui rasa bersalah akhir-akhir ini karena masalah itu. Menghembuskan nafas kencang, Moza langsung mengelap matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Maksud lo?" Tanya Bintang heran.

Bintang tidak menyangka pertemuan pertamanya bersama Moza akan berlangsung sengit seperti ini. Maksudnya, ia berharap ketika bertemu Moza, mereka akan mengobrol seperti biasanya. Tapi sepertinya kenyataan akan berbanding terbalik.

"Tentang perasaan Jevin ke Oliv," Tanggap Moza, sambil menatap tajam mata Bintang.

Bintang sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Saat lambat atau laun Moza akan mengetahui segalanya, segala yang berusaha Bintang tutupi karena ingin menjaga perasaan Moza. Bibir Bintang mengatup rapat, memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.

"Gue cuma gak mau ada lagi orang yang sakit hati karena semua ini. Gue gak mau lo sakit hati, Za."

Moza hanya terkekeh. "Gitu caranya biar gue gak sakit hati? Terus gimana dengan Oliv? Lo dengan teganya membiarkan gue bahagia sama Jevin sementara Oliv mau gak mau harus ngeliat itu semua?"

Bintang tidak percaya bahwa Moza akan mengatakan hal itu padanya. Bahkan sedikitpun tidak terpikirkan bahwa Bintang akan tega membuat Oliv sakit hati begitu saja. Semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan dan semua tidak akan berjalan baik mengingat Moza yang sudah lebih dulu tersulut emosi.

"Lo pernah berpikir gimana rasanya ada di posisi gue? di satu sisi lo gak tega liat teman lo yang berusaha menyembunyikan perasaannya saat dia liat orang yang dia sayang behagia dengan orang lain, dan di sisi lain gue gak mau mengganggu temen gue yang udah bahagia dengan orang lain?"

Ucapan itu jelas membuat Moza langsung bergeming. Apa yang dikatakan Bintang memang ada benarnya.

"Tapi setidaknya lo kasih tau gue Bintang, setidaknya gue bisa jaga perasaan Oliv."

"Terus lo mau apa kalo udah tau? Mau nyuruh Jevin pacaran sama Oliv? Za, yang namanya perasaan gak bisa dipaksakan," Bintang beranjak dari duduknya, hendak meninggalkan Moza sebelum obrolan mereka semakin diselipi amarah yang hampir membuncah. Bintang lebih memilih untuk membiarkan Moza berpikir dengan jernih.

"Kok lo bisa sesantai itu? Bin, hubungan persahabatan kita lagi diuji dan lo malah mau pergi gitu aja? Oh ya gue inget, lo kan cewek perfect ya? Udah pinter, famous, nyari temen baru bukan hal yang sulit ya bagi lo?" Sindir Moza dengan berteriak mengingat Bintang sudah pergi dari mejanya.

Bahkan beberapa orang langsung tertegun mendengar perdebatan dua sahabat itu. Sejak mereka terlihat dekat, tidak pernah sekalipun mereka berdebat sebegini seriusnya sambil berteriak pada satu sama lain.

Bintang langsung berhenti melangkah.

"Justru itu, gue gak mau bikin suasana makin keruh. Gue harap kita bicarain ini lagi pas emosi lo stabil," Tanggap Bintang yang benar-benar nerlalu meninggalkan Moza.

BOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang