Moza membuka kenop pintu yang ada di hadapannya. Tidak terkunci. Melihat ke sekeliling, ruangan itu sepi. Tidak seperti biasanya, tidak seperti pertama kali dia masuk kesana. Tidak ada poster band yang Moza tidak tau apa namanya, tidak ada debuman suara musik kencang dari tape di dekat meja belajar.
Tidak ada Oliv yang biasanya berselonjoran di karpet kecil bersama dirinya dan Bintang. Tidak ada lagi tiga orang yang selalu membicarakan semua hal meski itu tidak penting sekalipun sampai mereka bosan dan tertidur.
Bayang-bayang dirinya bersama Oliv dan Bintang yang bercanda disana, Oliv yang tidur saat Bintang fokus mengerjakan tugas sekolahnya. Semua seolah bisa Moza rasakan. Walau kenyataannya tempat itu sepi. Kebahagiaan itu tidak ada lagi.
Airmata Moza mengalir begitu saja. Ia menyesal tidak bisa menjaga Oliv, tidak ada di samping Oliv saat gadis itu membutuhkannya. Berbanding terbalik dengan Oliv yang selalu menjaga Moza, meski tidak secara langsung, meski Oliv tidak selalu memperlihatkan hal itu. Tapi dari cara Oliv menjaga Moza, Moza tau Oliv adalah salah satu sahabat terbaiknya.
Mendengar semua cerita Satria bagaimana keadaan Oliv saat itu, membuat hati Moza teriris. Sakit. Tidak ada satupun orang yang mau melihat sahabatnya menderita, tidak ada satupun orang yang rela sahabatnya disakiti dan tidak ada orang yang tinggal diam jika sahabatnya diperlakukan seperti itu.
Coba saja kalau saat itu ada Moza disana, coba saja kalau Moza mencegah kejadian itu. Coba saja Moza membantu Oliv menghadapi Tia yang tega menyakiti Oliv.
Moza terus merutuk dalam hati, menyalahkan dirinya yang tidak berguna sama sekali untuk siapapun.
Mengusap airmatanya, Moza berjalan perlahan dan duduk di tepi kasur Oliv, bahkan tempat tidur itu rapih seakan tidak akan ada siapa-siapa lagi yang akan tidur disana. Nafasnya mulai sesenggukan, menahan isakan yang semakin jelas terdengar.
Semuanya seakan datang bertubi-tubi, semuanya nyaris menghancurkan Moza dan semua perlahan pergi begitu saja meninggalkan.
Beberapa saat Moza hanya duduk disana, dengan telapak tangan yang menutupi wajahnya yang basah akibat airmata yang enggan berhenti mengalir.
Sekali lagi, Moza menyusuri setiap sudut ruangan, mungkin hanya tersisa barang yang tidak berguna lagi yang ada disini, matanya melirik pada satu jurnal di atas meja berlajar. Entah kenapa Moza ingin sekali membuka jurnal yang diyakini milik Oliv itu. Bahkan Moza tidak pernah melihat benda ini sebelumnya.
Jarinya seakan tidak sabar membuka lembar demi lembar, sampai ia menemukan coretan tangan Oliv.
J.A, di ujung kertas Moza melihat tahun saat tulisan itu dibuat, 2013, tiga tahun lalu.
Menelusuri setiap tulisan, bahkan Moza baru tau kalau Jevin dan Oliv berasal dari SMP yang sama. Curahan hati Oliv tentang penyakit yang sempat di deritanya. Tentang bagaimana bahagianya ia bisa mengenal Moza dan Bintang dan tentang rasa yang dia pendam pada Jevin.
Bukan tentang salah atau tidaknya kita mencintai seseorang, karena kehadirannya tidak pernah mampu terbantahkan. Meski terkadang ia datang di saat yang tidak tepat hingga mau tidak mau kita harus mengusir jauh perasaan itu dan hanya perih yang tersisa.
Katakanlah cinta itu anugerah, ia hinggap di hati siapapun yang ia kehendaki tanpa pernah mau tau bahwa hati itu sudah ada yang memiliki atau belum.
Bukan tentang patah hati, semua itu takkan pernah terjadi jikalau kita mampu mengolah perasaan yang dimiliki.
Gue coba belajar untuk mengerti, gak ada salahnya saat gue bersedia berbesar hati. Meski kenyataannya sulit buat dijalani, tapi gue percaya cinta hadir bukan untuk melukai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOM
Teen FictionBerawal dari kesamaan nasib, sama-sama sering menjadi sasaran empuk saat OSPEK SMA akhirnya hubungan Bintang, Oliv dan Moza yang dulunya tidak mengenal satu sama lain kini terikat dalam satu tali persahabatan yang erat. Ditambah kehadiran dua cowok...