Pagi itu Moza sudah duduk di meja makan dengan segelas susu strawberry hangat di hadapannya. Dengan seksama Moza memperhatikan papanya yang sedang menyantap roti berlapis selai nanas dengan santai.
Ia benar-benar menikmati detik terakhir bersama papanya ini sebelum beliau pergi ke Amerika untuk urusan pekerjaan. Enam bulan bukan waktu yang singkat bagi Moza untuk ditinggalkan oleh orang yang paling ia sayang. Beruntung ucapan papanya mampu mengurangi rasa sedih di dalam hati Moza saat ini meski ia harus berusaha sekuat mungkin untuk menahan tangisnya.
Sebenarnya papanya sempat mengajak Moza untuk ikut ke Amerika namun dengan segala hal yang sudah dipertimbangkan, Moza menolaknya.
Meski dengan konsekuensi yang ia dapat untuk enam bulan ke depan. Tidak ada lagi saat dimana Moza menunggu papanya di ruang keluarga setiap malam, tidak ada quality time setiap weekend, tidak ada pelukan hangat dari papa yang menjadi tempat paling nyaman bagi Moza.
Cuma enam bulan, Za. Batinnya.
Pandangan Moza beralih pada Bang Salim yang sedang mengangkut koper dan tas milik papa. Ya ampun, rasanya ia ingin memberhentikan waktu untuk kali ini. Moza terus menghentakkan kakinya tanda panik. Meski ini untuk sementara, tapi rasanya tidak berbeda jauh seperti saat ditinggal mamanya untuk selamanya.
Menangkap gelagat yang aneh dari Moza, papanya langsung tersenyum hangat sambil mengelus puncak kepala anaknya itu. "Inget! Kalo kamu sedih, mama dan papa ikut sedih loh" Kata-kata itu sudah tidak asing di kuping Moza karena kata-kata itu yang selalu menjadi penguat bagi Moza kala dirinya merasa sedih.
Moza hanya tersenyum sembari mencolek ekor matanya dengan jari tengah untuk menghindari agar airmatanya tidak menetes setelah mendengar papanya berbicara.
"Aku bakal kangen teddy bear kesayangan aku" Ucap Moza lirih seraya beranjak dari tempat duduk dan memeluk papanya.
Baru sekitar tiga menit ayah dan anak itu berada dalam posisi yang sama, tiba-tiba Mbak Yaya menginterupsi, "Neng, ada Jevin di depan".
Sontak Moza langsung melepas pelukannya dan berjalan menghampiri Jevin yang baru keluar dari mobil. Tumben bawa mobil, tumben sepagi ini.
Dari baju yang ia kenakan berupa celana basket selutut, baju hitam polos dan running shoes jelas Jevin akan pergi berolahraga. Tapi kenapa ia justru datang ke rumah Moza dan membuat gadis itu bingung.
"Ngapain lu?" Tanya Moza sambil menautkan alis.
"Galak amat pacar gue. Mau ajak kamu olahraga lah" Jevin dengan tingkah laku anehnya lagi-lagi membuat Moza harus menahan tawa. Bagaimana tidak, saat Jevin menjawab pertanyaan Moza, cowok itu berucap sembari berlari di tempat dan menggerakkan tangannya ke segala arah.
Tapi Jevin langsung berhenti bergerak saat melihat Bang Salim yang lalu lalang dengan koper di tangannya. Hal itu jelas membuat rasa penasaran dalam diri Jevin muncul.
"Bang Salim mau pindah?" Tanyanya sambil duduk di bangku teras. Diikuti Moza yang duduk di sebelahnya.
Moza hanya menggeleng, "Bukan Bang Salim, tapi gue. Gue mau pindah ke Amerika" Tampangnya terlihat sedih.
"Hah? Serius? Kok ngedadak sih?"Mata Jevin hampir copot.
"Gimana ya, gue gak tega bilang sama lu nya, Ping" Moza menutup wajahnya.
"Za ih, hubungan kita baru seumur jagung terus lu mau ninggalin gue gitu aja?" Seakan tulang di dalam tubuh Jevin melunak semua setelah mendengar pernyataan Moza.
"Kayaknya kita cukup sampe dis-"
"Za apaan sih? Nggak mau gue!" Bentak Jevin secara refleks. Matanya menelisik mata Moza yang juga enggan menatapnya tepat pada pupil.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOM
Teen FictionBerawal dari kesamaan nasib, sama-sama sering menjadi sasaran empuk saat OSPEK SMA akhirnya hubungan Bintang, Oliv dan Moza yang dulunya tidak mengenal satu sama lain kini terikat dalam satu tali persahabatan yang erat. Ditambah kehadiran dua cowok...