Epilog-Last

3.5K 182 40
                                    


a/n:

woohoo chapter ini 2x lipat lebih panjang dari sebelumnya haha. gapapa lah ya sikat aja.

oh ya, gue pengen tau, karakter favorit kalian disini siapa? dan alasannya kenapa? kalau gue, suka Valdo karena dia setiaaa.

***

10:15

Moza mengamati jarum jam tangannya yang tidak berhenti berputar. Rasanya sedikit aneh berada disini lagi. Di negara tempatnya lahir setelah beberapa tahun ia tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah ini. Pagi ini, ia sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta bersama keluarga kecilnya.

Ia berencana melanjutkan pendidikannya di Indonesia, sebab ayahnya pun sudah bisa kembali bekerja disini.

"Ck, lama," gumam Moza saat menunggu rombongannya yang sedang mengisi perut. Moza yang merasa masih kenyang enggan bergabung dan lebih memilih duduk-duduk sambil mengamati kegiatan orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Sukur-sukur jika ia bisa melihat pilot ganteng.

Sambil menghentak-hentakkan kaki, akhirnya Moza memutuskan beranjak untuk pergi ke toilet, setidaknya untuk mengecek penampilannya setelah menempuh perjalanan beberapa jam dari Amerika. Kapanpun dan dimana pun, Moza selalu ingin terlihat cantik. Hal yang tidak pernah berubah dari dulu.

"Moza?" seseorang yang tampak keheranan berdiri di belakang Moza yang justru malah terus berjalan. Moza tidak mendengar panggilan itu, secara kupingnya sedari sudah disumpal oleh earphone.

Seseorang yang juga baru tiba di Indonesia itu yakin bahwa perempuan yang ia lihat barusan adalah Moza, perempuan yang tidak pernah gagal membuatnya rindu setengah mati karena selama beberapa tahun, ia tak pernah tahu kabar gadis itu sama sekali.

Rambut panjangnya yang bergaya oval tidak pernah berubah, dan tubuh mungilnya juga masih tetap sama, cara gadis itu berjalan pun demikian. Satu hal yang seseorang itu tahu, jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya hanya dengan melihat gadis itu dari belakang. Perasaan itu, masih sama seperti saat ia duduk di bangku SMA.

Moza yang baru kembali dari toilet kini tengah menghampiri tempat duduk yang ia tempati tadi. Persis di sampingnya, sudah ada seorang cowok yang sempat Moza lirik sekilas karena ia rasa cowok itu terlihat misterius, dengan topi hitam dan kacamata dengan warna senada. Bahkan Moza sempat berpikir bahwa cowok itu punya niatan jahat padanya.

Sedetik kemudian, Moza langsung menggelengkan kepala, seolah berusaha menghilangkan pikiran yang tidak-tidak pada seseorang yang sama sekali tidak Moza kenal itu. Tapi satu yang terasa janggal, ia seperti tidak asing dengan rahang cowok itu.

Rahang yang mengingatkannya pada sosok yang sampai saat ini masih ia sayang, meski tidak pernah sekalipun mereka berkomunikasi dan bertanya tentang kabar satu sama lain selama beberapa tahun. Sosok yang dengan ajaibnya tidak pernah luput dari pikiran Moza, meski keadaannya sudah berbeda.

Kangen sih kangen, Za, tapi gak halu juga kali, batin Moza.

Moza mencoba menyibukkan diri dengan ponselnya, meski hanya meng-scroll timeline instagram yang baru saja Moza lihat beberapa menit yang lalu, setidaknya ia bisa terlihat sibuk dan bukan hanya melongo saat menunggu ayahnya menghubunginya.

"Apa kabar?" suara seseorang disampingnya itu berhasil membuat jempol Moza mematung dan tubuhnya mendadak menegang.

Ia tidak salah dengar, kan? Maksudnya suara itu, terdengar sangat familiar di indera pendengarannya. Suara yang ia yakini dulu sering melantunkan lagu untuknya. Moza memberanikan diri untuk melirik ke sebelah kiri dengan perlahan. Sementara orang di sampingnya membuka kacamata hitam yang sedari tadi menutupi mata cokelatnya.

BOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang