Di mulmed ada cast Ines ...
💙💙💙
Ines berjalan gontai saat pulang dari rumah besar milik salah satu pejabat sekaligus pengusaha batu bara yang baru saja dia datangi. Hatinya sedih mengingat perkataan yang dilontarkan oleh nyonya rumah tadi. Benar-benar tipikal orang kaya yang sombong.
Berkali-kali dia menghela napas panjang. Dia memikirkan, bagaimana jika bundanya nanti tetap diminta mengganti baju yang katanya mahal itu.
Ines sendiri tak habis pikir dengan Bu Wanda. Kalau memang pakaian itu harganya mahal, kenapa beliau harus menjahitnya di tempat Bundanya yang seorang penjahit kampung? Bukankah lebih bagus jika memermaknya di penjahit kelas atas?
Langkah kaki Ines semakin mendekati rumah. Sebenarnya, dia tak ingin terlihat murung. Namun, bagaimanapun juga, bundanya harus tetap diberitahu.
Saat kakinya sudah mendekati teras rumahnya yang mungil, dihirupnya napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Diayunkannya tangannya itu untuk mengetuk pintu rumahnya.
"Assalamu'alaikum ...," ucapnya memberi salam. Tak berapa lama pintu pun dibuka oleh bundanya.
"Wa'alaikumussalam ... kamu sudah pulang, Nak? Gimana tadi jahitannya? Sudah dikasih ke Bu Wanda, belum?" tanya bundanya sambil menyerahkan punggung tangannya yang disambut oleh Ines lalu diciumnya.
"Udah, Bun," jawab Ines tersenyum lembut lalu melangkah ke arah dapur setelah meletakkan bungkusan plastik yang semula dibawanya di atas meja mesin jahit.
Sang bunda yang melihat bungkusan plastik itu dibawa pulang kembali oleh putrinya, mengerutkan keningnya bingung. Ditatapnya punggung putrinya yang sedang mengambil segelas air dingin dari dalam kulkas, lalu meneguknya hingga tandas itu dengan tatapan heran.
"Kok, dibawa pulang lagi jahitannya? Apa ada masalah?"
Pertanyaan bundanya itu membuat Ines meneguk ludah. Dia tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya. Dilangkahkan kakinya perlahan mendekati sang bunda, lalu berkata sepelan mungkin pada wanita yang telah melahirkannya itu.
"Tadi, udah aku kasih ke Bu Wanda. Waktu beliau lihat, Bu Wanda bilang, ada jahitan yang kurang pas dan kain sutranya mengerut. Makanya, Bu Wanda minta diperbaiki lagi," ujarnya sambil menatap sorot mata bundanya yang terlihat bingung.
Sang Bunda yang bernama Dian itu mengambil bungkusan plastik putih di atas meja lalu membukanya perlahan. Dengan kening mengerut, sang bunda menelusuri gaun batik sutra itu secara teliti.
Setelah beberapa detik matanya menjelajah ke setiap inti gaun itu, akhirnya beliau menemukan apa yang dikeluhkan oleh Bu Wanda itu memang benar. Bu Dian tersenyum menyembunyikan perasaan gelisahnya pada sang putri yang sedari tadi menunggu keputusannya.
"Kalau begitu, biar Bunda coba perbaiki ya, Nak. Semoga, besok gaunnya bisa bagus seperti awal lagi. Kamu tenang aja, ya," ujar bundanya lembut. Meskipun dalam hatinya, Bu Dian merasa gelisah.
"Apa Bunda yakin masih bisa diperbaiki? Setahu aku, kalau mengerut begitu, nanti akan ada bekas jahitannya. Terus gaunnya makin rusak," jawab Ines yang memang tak yakin dengan perkataan bundanya.
"Kita coba dulu, Nak. Kayaknya jarum jahit yang Bunda pakai waktu jahit gaun ini sudah tumpul. Padahal, waktu itu Bunda sudah beli yang baru. Tapi salah Bunda juga sih, nggak cek jarumnya lagi. Bunda sendiri juga lupa, nggak melapisi bahan sutera ini dengan kertas tissue waktu menjahit. Sampai akhirnya, gaunnya bisa mengerut begini," jelas sang bunda.
"Terus gimana, Bun, solusinya? Apa kita harus beli jarum lagi?" tanya Ines.
"Iya, Nak. Mau nggak mau kita harus beli jarum lagi. Ya sudah, besok aja kita pikirin. Sekarang, kamu istirahat. Kamu pasti capek," ujar sang bunda tersenyum menenangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
General Fiction[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...