8. Sedih Tak Berujung

4.3K 353 219
                                    

"Dari mana aja kamu? Jemput anak, jam segini baru pulang? Kebiasaan banget kelayapan dulu!" maki Wanda saat Ines baru saja masuk ke dalam rumah.

"Maaf, Mi. Tadi Ines sekalian belanja keperluan dapur sama ke toko buku sebentar, beliin Qila buku mewarnai," ucap Ines menjelaskan.

"Kamu ini banyak alasan! Kamu nggak lihat tuh, kalau kerjaan di rumah masih banyak. Kamu juga belum masak buat makan malam. Malah kelayapan nggak jelas!" ucap Wanda yang sama sekali tak mau menurunkan nada suaranya.

"Maaf, Mi, tapi Ines pergi juga buat beli bahan masakan untuk makan malam nanti," bantah Ines namun masih tetap bersikap sopan pada mertuanya itu dan sama sekali tak ingin membalas dengan nada yang sama.

"Itu alasan kamu aja 'kan, biar bisa foya-foya pake uang anak saya! Saya nggak suka ya, kamu kelayapan sepulangnya jemput cucu saya, terus habisin duit anak saya. Dia itu kerja susah payah, tapi kamu jadi istrinya sama sekali nggak bisa hemat. Belanja apa aja kamu sampai banyak begitu?" omel Wanda yang lagi-lagi menyudutkan Ines.

"Ini cuma bahan masakan, Mi. Semua isi kulkas udah habis, makanya Ines beli banyak sekalian. Biar nggak bolak-balik belanja," jawab Ines berusaha tetap sabar.

"Kamu ini, dari tadi ngebantah saya terus!" bentak Wanda dengan suara menggelegar.

"Mami!" sahut Dito yang baru saja masuk ke dalam rumahnya sambil menggandeng Qila. "Mami ngapain sih, bentak-bentak Ines? Dia salah apa sama Mami?" tanya Dito kesal.

Amarahnya yang sempat surut saat melihat kehadiran Vian di rumahnya dan berubah menjadi rasa bersalah, kini kembali lagi saat mendengar teriakan maminya.

Telinganya ikut panas mendengar Ines dibentak-bentak seperti itu oleh maminya. Padahal, tujuan Dito pulang ke rumah adalah untuk mendapatkan ketenangan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mendengar sang Mami marah-marah, semakin membuat pikirannya kacau dan emosinya kembali naik.

"Dito! Berani kamu bentak Mami? Mami ini yang lahirin kamu! Kamu mau jadi anak durhaka?!" tanya Wanda yang justru balik memarahi putranya.

Dito mengembuskan napas kesal dan mengacak rambutnya frustrasi, lalu menatap Ines dan Qila bergantian.

"Nes, bawa Qila masuk ke kamar. Aku mau ngomong sama Mami!" perintah Dito.

"Iya, Mas," jawab Ines lalu mengulurkan tangan pada putrinya. "Qila, ayo ikut Bunda, Nak!" ajaknya pada sang putri.

Qila mengangguk dan menuruti perintah bundanya itu. Saat Ines hendak minta ijin untuk meninggalkan ruang tamu sebagai wujud sopan santunnya, Wanda langsung melengos begitu saja dengan ekspresi mencibir.

Ines pun tak jadi pamit. Dia memilih untuk langsung masuk ke dapur dan meletakkan belanjaannya, lalu membawa Qila ke kamarnya.

"Mami ini kenapa sih? Bisa nggak, jangan bentak-bentak Ines, terus? Apalagi di depan Qila. Mami mau bawa pengaruh buruk buat anak aku?" tanya Dito setelah Ines tak berada di sana.

"Kenapa kamu jadi nyalahin Mami, sih? Salahin istrimu itu dong! Jadi istri kok nggak ada sopan-sopannya sama mertua. Bantah terus kalau dikasih tahu!" jawab Wanda ketus.

"Ya, Mami 'kan bisa ngasih tahunya dengan cara baik-baik. Nggak usah pake nada tinggi begitu. Tadi Ines juga udah jelasin sama Mami, kalau dia pergi belanja. Mami kenapa masih marahin dia? Capek, Mi, denger Mami marah-marah terus! Aku pulang itu buat cari ketenangan di rumah. Tapi kalau di rumah cuma denger Mami marah-marah, lebih baik aku nggak usah pulang sekalian!" kata Dito menyerah.

"Kamu ngancem Mami?" tanya Wanda sedikit gusar.

"Aku nggak ngancem. Aku cuma kasih tahu Mami. Aku capek, Mi. Beneran. Bisa nggak, sehari aja Mami nggak marahin Ines. Dia itu istriku, Mi. Tolong Mami hargai itu. Dia juga lagi hamil sekarang. Kalau terjadi apa-apa sama kehamilannya, Mami mau tanggung jawab?"

BETWEEN YOU & USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang