"Jangan mimpi!"
Sejak tadi hanya kalimat itu yang terus berdengung di telinga Vian. Hingga membuat telinganya pengang dan kepalanya pusing. Rasa sesak di dadanya juga semakin menjadi-jadi.
Sejak keluar dari gedung itu, Vian tak hentinya meneteskan air mata dan berkali-kali pula menghapusnya. Tangis bahagia karena bertemu dengan Dito, bercampur dengan tangis pilu saat Dito menatapnya penuh amarah sambil berkata sarkas padanya.
Dito bukan hanya menolaknya, tapi juga membunuh semua harapannya. Jika dulu, Vian pernah berujar tidak akan melepaskan Dito untuk kedua kalinya andai mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali, kini segala ujarnya itu seolah hanya sebuah harapan semu.
Vian bahkan tak berani bermimpi terlalu jauh. Apalagi bisa menjalin kasih seperti dulu lagi. Semuanya terasa mustahil bagi Vian sekarang.
Tatapan penuh amarah Dito, telah mengatakan segalanya. Meski Vian bisa melihat kilat kerinduan di mata itu, dia tetap tidak ingin terlalu jauh bermimpi.
"Andai aku datang lebih cepat, mungkin aku masih bisa perbaiki semuanya. Dan kamu nggak akan benci sama aku kayak gini," gumam Vian lalu menghela napas panjang.
"Aku harap, aku masih belum terlambat untuk minta maaf dan jelasin semuanya sama kamu suatu hari nanti," kata Vian lagi lebih kepada dirinya sendiri.
Vian terus larut dalam pikirannya. Hingga dia tak sadar jika mobilnya sudah melaju semakin jauh ke arah Rawamangun.
Dan karena sudah terlanjur sampai sana, Vian akhirnya memilih untuk masuk ke dalam salah satu mall yang ada di kawasan tersebut.
Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Vian pun masuk ke dalam mall dan memutuskan untuk mencari peralatan gambar lebih dulu sebelum dia pergi makan.
Sebelumnya, Vian bertanya lebih dulu pada petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk mall untuk bertanya di mana letak toko buku berada. Vian memang belum pernah mendatangi mall tersebut. Itu sebabnya dia sedikit awam dengan letak beberapa toko di sana.
Sampai di toko buku yang dia cari, Vian pun memilih untuk langsung menuju rak peralatan gambar. Vian tersenyum saat sudah menemukan rak yang dituju dan mulai memilih peralatan yang dibutuhkannya.
Baru beberapa saat dia memilih-milih peralatan gambar, mata Vian tertuju pada seorang gadis kecil di dekatnya yang sedang melihat-lihat buku mewarnai yang berjejer rapi di dekat rak pensil.
"Wah, buku mewarnainya lucu-lucu. Aku bingung, mau pilih yang mana?" gumam gadis kecil itu seperti orang dewasa.
Vian tersenyum dan sedikit tergelitik mendengarnya. Dengan intuisinya, Vian berjalan mendekat pada gadis kecil yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu dengan langkah ringan lalu menyapanya ramah.
"Pilih aja sesuai apa yang kamu suka," jawab Vian tersenyum lembut.
Gadis kecil itu mendongak melihat Vian dengan tatapan waspada. Vian mengerti mengapa gadis kecil itu menatapnya seperti itu. Kemungkinan besar, orangtuanya sudah mewanti-wantinya agar tidak berbicara dengan orang asing. Apalagi yang baru saja ditemuinya.
Vian tersenyum lalu mengambil salah satu buku mewarnai yang di depannya ada gambar putri salju dan tujuh kurcaci di dekatnya dengan latar sebuah rumah mungil dan taman bunga yang indah.
"Yang ini kayaknya cocok buat kamu," ujar Vian lalu menyerahkan buku tersebut pada gadis kecil di depannya yang ragu-ragu menerima buku itu. "Kamu pasti suka sama princess kan? Wajahmu secantik putri salju yang ada di buku mewarnai ini," kata Vian lagi.
Melihat gadis kecil itu, Vian jadi teringat adik kecilnya yang baru berusia lima tahun di Jerman. Vian benar-benar merindukannya. Setelah dewasa, dia baru bisa merasakan suka dukanya memiliki seorang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
General Fiction[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...