Pagi ini, Ines sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dengan pertimbangan bahwa Ines tak lagi mengalami perdarahan serta kondisi janinnya juga sudah kembali kuat untuk dipertahankan sampai tersisa lima minggu ke depan menjelang waktu persalinannya.
Saat pulang, Ines hanya dijemput oleh Hendri seorang. Sementara Wanda terlihat tak terlalu peduli dengan kondisi menantunya itu. Wanita itu justru sibuk melakukan persiapan untuk menghadiri acara arisan dengan teman-teman sosialitanya di luar kota dan baru nanti malam akan kembali ke rumah.
Sedangkan Qila masih berada di sekolahnya. Karena saat Ines pulang, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Nes, Papi ke kantor dulu, ya. Kamu nggak papa, kan di rumah sendirian? Papi ada jadwal meeting penting habis ini. Nanti siang, biar Dadang aja yang jemput Qila. Kamu di rumah aja. Paling, jam dua belasan si Dadang juga udah pulang dari nganter Mami," ucap Hendri sembari memapah menantunya itu ke dalam kamar.
"Iya, Pi. Papi jangan khawatir. Ines nggak papa kok di rumah sendiri. Kan ada Bi Ipah yang nemenin," jawab Ines sopan.
Hendri menganggukkan kepalanya, lalu mendudukkan Ines ke atas kasurnya. Kemudian memandang menantunya itu dengan tatapan prihatin.
"Papi minta maaf ya, Nes, atas sikap Dito sama kamu. Ini salah Papi yang nggak bisa didik Dito dengan baik. Dia kayak gini, karena terlalu dimanjain sama Maminya. Harusnya sebagai suami, dia ada di samping kamu sekarang. Tapi dia malah ngilang empat hari ini. Entah ke mana perginya anak itu? Papi telpon juga nggak diangkat. Dia sengaja mau bikin Papinya ini mati muda, kayaknya," ucap Hendri sambil sedikit menggerutu.
"Nggak papa, Pi. Papi nggak perlu minta maaf. Ini bukan salah Papi. Mas Dito pasti lagi sibuk sama kerjaan dia. Papi jangan marahin Mas Dito, ya. Dia juga udah sering jaga Ines kok di rumah sakit. Mungkin kerjaannya lagi nggak bisa ditinggal," jawab Ines tenang.
Namun tidak di dalam hatinya. Ines jelas menaruh seribu tanya dan kesedihan karena Dito tak memberinya kabar selama empat hari ini, serta tidak ada saat dia sudah pulang dari rumah sakit.
Suaminya itu tak pernah mengangkat telepon darinya, apalagi menjawab pesan yang dia kirimkan selama empat hari ini padanya.
"Sekali-kali anak itu harus dikasih pelajaran. Udah tua, anaknya juga udah mau dua, tapi tingkahnya masih aja kayak anak SMA. Mami kamu juga, tuh. Bukannya ikut jemput, malah keluyuran ngabisin duit nggak jelas. Pusing kepala Papi lihat mereka berdua itu. Kamu yang sabar, ya. Nggak usah mikirin mereka. Pikirin aja gimana caranya cucu Papi ini tetap sehat sampai nanti dia lahir. Papi udah nggak sabar pengen gendong cucu lagi. Sekarang, Qila udah nggak mau Papi gendong lagi. Katanya udah gede, nggak boleh minta gendong," ujar Hendri sambil tersenyum sendiri mengingat tingkah cucunya. Dia juga membayangkan ramainya rumah mereka nanti dengan hadirnya satu anggota baru dalam keluarga mereka.
Ines tersenyum mendengar ungkapan kebahagiaan ayah mertuanya itu. Dari semua orang yang ada di rumah besar ini, hanya Hendri dan Bi Ipah-lah yang peduli padanya.
Asisten rumah tangga mereka yang sudah bekerja puluhan tahun dengan keluarga Hendri itu tetap betah menghadapi sifat buruk Wanda, di saat semua pekerja yang lain keluar silih berganti.
"Iya, Pi. Insha Allah, Ines akan jaga kandungan ini baik-baik sampai melahirkan nanti. Nggak lama lagi, kebahagiaan di keluarga ini akan semakin lengkap dengan lahirnya bayi ini," ucap Ines sembari mengelus perut besarnya.
"Aamiin," jawab Hendri tersenyum lembut pada menantunya itu. "Ya udah, Papi berangkat dulu ya. Kamu hati-hati di rumah. Kalau butuh apa-apa, panggil Bi Ipah aja," pesan Hendri sebelum pergi sekaligus berpamitan pada Ines.
"Iya, Pi," jawab Ines lalu mencium punggung tangan Hendri.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
![](https://img.wattpad.com/cover/66840716-288-k129417.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
Ficción General[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...